Selasa, 16 Maret 2021

Cerpen " Pertemukan Aku dengan Bukuku "

 Untuk mengingat dirimu, aku menguatkan diri untuk membiarkan jemariku menari di atas papan ketik. Semoga, kamu merasa tidak terbebani jika aku meminta restu kepada semesta agar aku bisa mengingat dirimu lebih sering. 


Apa yang akan kamu lakukan jika kamu kehilangan seseorang? Ah, itu terlalu berat. Mari kita ganti pertanyaannya. Apa yang akan kamu lakukan jika kamu kehilangan sebuah barang? Bagaimana perasaanmu jika barang itu tidak kunjung ditemukan oleh netramu?. Aku tahu, sulit untuk mendeskripsikannya bukan?. Aku pun, demikian. Aku pernah memaksakan diriku untuk mengingat setiap inci ruangan dimana aku meninggalkan barangku. Bahkan, aku berusaha menjelajahi waktu meskipun pada akhirnya, aku tetap tidak bisa mengingat dengan utuh. Aku tidak dapat menemukannya dengan mengingat sesuatu yang bahkan tidak pernah aku pikirkan bahwa aku harus mengingat setiap detailnya. Menyebalkan bukan? 

Ah iya, kita belum berkenalan. Namaku Mystiko Wijaya. Kamu bisa memanggilku Mystiko. Sebenarnya aku memperbolehkan kamu untuk memanggilku apapun. Namun, izinkan aku memberi saran agar kamu tidak memanggilku Miss, kamu mau tahu alasannya? Ah ayolah, aku ingin tertawa jika menyebutkannya sekarang. Miss hanya menjadi milik Misiena. Sahabatku si putri kepala sekolah. Sebenarnya jika aku pikir – pikir aku tidak dapat menemukan korelasi kasus mengapa aku dapat terhubung dan berteman dengan Misiena, si putri kepala sekolah yang selalu menjadi buah bibir anak – anak sekolah. Bagaimana tidak? Dia perempuan dengan tubuh proporsional, sangat cantik bahkan untuk memenuhi standarisasi kecantikan dan tentunya dia pintar. Jika aku membuat sebuah perbandingan antara aku dengan dirinya, aku hanya memiliki 1 % dari kesempurnaan dirinya. Apakah itu terlalu berlebihan?. Aku rasa tidak jika kamu benar – benar mengenal Misiena. 

Lalu bagaimana dengan aku?. Kamu salah jika kamu menganggap aku adalah tokoh utama yang isimewa. Ayolah, sebagai seorang perempuan berusia 17 tahun, aku tidak ingin disandingkan dengan perempuan berusia sebaya yang sudah punya ribuan pencapaian luar biasa. Jika kamu berjalan – jalan di koridur kelas 11 MIPA dan kamu melewati ruang kelas 11 MIPA 1, kamu akan melihat aku yang sedang mengarsir buku pelajaran meskipun diwaktu istirahat. Kamu tahu? Aku tidak punya banyak teman untuk mengisi waktuku dengan membuat kenangan yang bisa aku nikmati ketika aku sudah dinyatakan lulus dari sekolah ini. 

Berbicara tentang kenangan, bagaimana rasanya memiliki kenangan yang setiap saat mampu kamu selami dimanapun kamu ingin? Apakah menyenangkan jika kamu dapat dengan bebas memilih kenangan mana yang akan kamu ingat – ingat ataukah kamu merasa terbebani jika kenangan buruk yang ingin kamu lupakan justru hadir menyapamu setiap hari? Aku ingin tahu rasanya mengingat seseorang dengan kenangan – kenangan manis didalamnya. Jika hal tersebut diperjual belikan di dunia ini, aku akan menjadi pelanggan pertama dan namaku akan tertera pada daftar pelanggan tetap. 

Jadi, aku sedang merindukan dirimu. Izinkan aku mengingat semampuku.


Hari itu, tanggal 16 Maret 2020. Hari pertama dalam 17 tahun nafasku. Aku merasa bahagia. Bahagia sekali karena hari itu aku mendapatkan banyak ucapan baik. Aku sangat bahagia sampai – sampai aku menyapa setiap manusia yang aku temui di jalan. Aku menyapa Bi Enah, tetangga depan rumahku yang sedang menyapu halaman. Aku menyapa Mas Tejo yang sedang asyik mencuci motor dan memutar lagu dangdut kesukaannya. Aku menyapa dan mengelus gemas kepala Kimy, kucing Bi Enah yang gembul. Aku bahkan menyapa bunga – bunga mawar yang sedang sibuk bermekaran menyapa indahnya pagi. Aku bersenandung ria selama perjalanan menuju ke sekolah. Rasanya, pagi di hari itu aku bahagia sekali meskipun aku harus mengikuti upacara. Rasanya, indah dapat melanjutkan nafasku di tahun ke 17.


“ Hei Mystiko!” Misiena menepuk bahuku. 

“ Berhentilah membuat aku terkejut Siena, kamu selalu mengejutkan aku tiap hari.” Aku menggerutu.

“ Hihihi” dia tertawa dengan polosnya dan memberiku sebuah buku. 

“ Apa ini?.“ Tanyaku sambil melihat – lihat detail sampul buku yang nampak asing. 

“ Hadiah ulang tahunmu. Ayolah hanya aku yang akan memberimu sebuah buku meskipun aku tahu kamu sangat membencinya bukan? Hahaha” 

Aku tersenyum kesal. Memang, hanya Misiena yang mampu membuatku tersenyum meski sedang merasa kesal. 

“ Ah, jangan dibuka sekarang !” Misiena menghentikan jemariku. 

“ Ayo kita ke kantin Mystiko, aku sangat lapar “ Misiena menarik tanganku dan aku meletakkan buku itu sembarang di atas meja. 

“ Kamu mau memesan apa Mystiko?." tanya Misiena 

“ Aku mau pesan batagor kuah. “ ucapku

“ Baiklah, aku akan pergi kesana untuk membeli kupat tahu. Kamu yang bayar kan ?” Misiena tertawa jahil dan akupun berjalan menuju kedai Mamah yang sudah nampak ramai. 


Jika di muka bumi ini manusia diberi kemampuan untuk dapat melihat kejadian yang akan terjadi di masa depan, aku akan menghentikan langkah Misiena yang menjauh dariku atau aku akan mengikuti Misiena dan menggenggam jemarinya. Mengaitkan lengannya ke bahuku seperti yang selalu ia lakukan. Aku akan melakukan apapun agar kami tidak saling berjauhan. Namun aku tidak dapat melakukannya karena aku tidak memiliki kemampuan itu. 

“ Makan disini ya Mystiko ! “. Misiena berseru setelah mendapatkan meja kosong sementara aku masih menunggu Mamah membuatkan pesananku. 

Seketika, dalam riuh suasana kantin yang ramai, alarm kebakaran berbunyi. Membuat seisi kantin semakin riuh dengan kepanikan. Beberapa siswa bahkan dengan tergesa – gesa menyelamatkan diri. Kantin sekolah yang berada di lantai dua, menjadikan tangga darurat terdekat dipenuhi anak – anak. Aku panik. Aku tidak bisa bernafas ditengah – tengah desakan anak – anak yang berlari. Mataku tidak dapat menemukan Misiena. Aku bahkan kehilangan kemampuan untuk berteriak. Aku benar – benar cemas. Aku putus asa ketika tidak dapat menemukan dirinya. Aku hampir menangis kesal ketika alarm terus berdering dan kondisi semakin berisik. Ditengah – tengah kepanikan, aku melihat Misiena dengan isyarat tangan yang menyuruhku untuk pergi lebih dulu. Aku menggelang dan mengerahkan kemampuanku untuk melawan arus. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meraih tangannya meskipun tak kunjung sampai. Aku menggerutu geram sampai – sampai aku tidak mendengar anak – anak yang meneriakiku agar aku menghindar. Terlambat, kepalaku terkena patahan meja kayu yang terjatuh dari lantai tiga. Aku meringis, duniaku gelap seketika. 

Hal pertama yang aku rasakan ketika membuka mata adalah banyak sekali cahaya yang berusaha masuk memenuhi netraku. Aku mengedipkan mata perlahan. Melirik seisi ruangan bernuansa putih yang sangat asing bagiku. 

“ Kamu sudah sadar Mystiko?” Ibuku mendekat 

“ Bu, kenapa aku ada disini?” aku bertanya lemas

“ kemarin lusa sekolahmu mengalami kebakaran hebat. Setengah gedung habis terbakar. Apa kamu tidak ingat ?”. Ibuku bertanya.

Aku menggeleng lemah. Aku tidak mengingat hari yang diceritakan ibu. Ada apa denganku?Ibuku mengeluarkn air mata dan menggenggam tanganku dengan gemetar. Ibu membuatku heran. 

“ Kamu akan sehat dan baik – baik saja Mystiko. Ibu janji. Kamu akan baik – baik saja. “ Ucap ibu.

Akhirnya, aku bisa pulang setelah sabar mengikuti serangkaian perawatan. Ibu bilang, itu harus aku lakukan agar amnesia sementaraku tidak semakin parah. Katanya, kepalaku terkena patahan meja kayu ketika aku berusaha menyelamatkan diri. Namun ibu tidak bicara mengapa aku bisa berada disana. Dokter bilang, aku akan mendapatlan setiap potongan peristiwa jika aku dapat menjalankan perawatan dengan baik. Esoknya, ibumemperkenankan aku untuk pergi ke sekolah. Karena kebakaran hebat yang melahap setengahnya sekolah, pembelajaran tatak muka dilakukan persesi sesuai angkatan. Dan pekan ini adalah bagian untuk kelas 11. Aku masih dapat mengenali lingkungan sekolahku Meskipun aku tidak dapat mengingat apa yang terjadi hari itu. Ibu tidak banyak menceritakan isi sekolahkun ketika aku di rumah sakit. Pagi tadi ibu bilang bahwa mungkin saja banyak yang hilang dari sekolahku dan aku tidak memperdulikan hal itu.

Pintugerbangsekolah yang dulu megah kini memiliki goretan hitam sisa kebakaran. Miris, keadaan sekolah ini seperti bangunan tua yang tidak pernah direnovasi. Orang - orang memandangiku sambil berbisik - bisik. Aku hanya mampu mengernyit heran sambil terus berjalan dan mencari ruang kelas bertuliskan 11 MIPA 1. Ketika aku sampai di bibir pintu kelas, bel masuk pertanda jam pelajaran pertama akan dimulai berbunyi. Aku bergegas mencari kursih kosong dan mengeluarkan beberapa buku. Aku menemukan nama yang tidak begitu asing bagiku. Pada halaman pertama, aku menemukan kata Misiena Bramanto. Aku menimbang sejenak. Kemungkinan besar pemilik buku ini adalah temanku. Pandanganku menyusuri setiap kursi yang sudah terisi. Berharap bahwa aku dapat menemukan seseorang dengan bordir nama Miseana di bajunya. Namun nihil. Aku tidak menemukan nya .

" Maaf, ada yang namanya Misiena? " Aku bertanya lantang sambil mengangkat sebuah buku. Seisi kelas diam sesaat dan berbisik - bisik lagi. Tidak ada yang mengaku. Aku menurunkan tanganku dan memasukkan buku itu ke laci meja, mungkin saja pemilik buku ini akan mencariku dan mengambil bukunya. Itu yang akan dilakukan oleh seseorang yang kehilangan bukunya bukan? 

" Permisi, saya mau memanggil Mystiko. Apakah dia sudah hadir?."Anak laki - laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya mengetuk pintu dan menjadi pusat perhatian setelahnya.

Akumengangkat tangan 

"Mystiko bisa ikut saya ke ruangan kepalasekolah?." Tanyanya.Tanpapikir panjang, aku berdiri.Mengikuti langkahnya.

"Bagaimana kabarmu Mystiko?."Dia bertanya.

"Aku baik, " ucapku sambil mengimbangi langkahnya.

" Ah, tidak adil. Bagaimana bisa hidup harus memilih satu diantara kalian yang diselamatkan"gumamnya. Membuat aku berhenti. Hendak bertanya maksud ucapan kecilnya yang mampu aku dengar.

"Silahkan masuk Mystiko," lagi - lagi dia berucap dan tidak memberiku kesempatan untuk bertanya. 

Hal pertama yang aku rasakan ketika msuk ke ruangan kepala sekolah adalah aura kesedihan. Ibuku bilang, sekolahku adalah sekolah termegah dengan prestasi yang luar biasa namun sekarang semuanya hampir punah karena kebakaran. Papan nama bertuliskan Bramanto menjadi benda paling menyita perhatian ku. Sebelum aku berpikir lebih jauh, seorang laki - laki dengan jas hitam menghampiri ku.

" Selamat pagi Mystiko, bagaimana kabarmu?"Laki - laki yang aku duga adalah kepala sekolah bertanya.

"Saya baik pa."Jawabku.

"Pihak rumah sakit bilang, kamu sudah banyak mendapatkan perawatan. Apakah kamu benar tidak mengingat apapun tentang hari itu Mystiko? ". Tanyanya.Akumengangguk kecil.Aku memang tidak mengingat apapun.

" Ah, sayang sekali. Kamu bahkan tidak mengingat Miseana?". Mendengar pertanyaan itu membuat alisku bertaut. Nama itu lagi.

"Biar kuberi tahu."Dia berdiri dan menuju sebuah meja yang terdapat pigura foto perempuan.

"Kamu dengan dia adalah teman Mistyko. Putriku, Misiena Bramanto adalah korban kebakaran hari itu. " Dia menjeda ucapannya. Aku lemas.Otakku berusaha mencerna setiap perkataannya dan mencari ingatan tentang siapa Misiena sebenarnya.

"Apakah kamu benar - benar tidak tahu apapun tentang hari itu?". Pak Bram bertanya dan Aku diam, masih berusaha mencari ingatan.

"Teman kelasmu bilang bahwa, sebelum kebakaran itu kamu dengan Misiena pergi ke kantin. Kamu meninggalkan dia saat alarm berbunyi. " Ucapnya dengan penekanan pada kata meninggalkan sedangkan Akumasih diam. Aku putus asa ketika memaksa diriku menemukan ingatan.

"Jawab Mystiko! Kenapa kamu meninggalkan putri saya?! Kamu berjanji akan menjaga dia! Kamu berjanji kepada saya bahwa kamu akan menjadi teman yang baik untuknya!". Pak Bram menggertak. Nafasnya naik turun. Aku bisa merasakan kesedihan dari setiap kata - katanya.Jantungkuberpacu cepat. Keringat mengalir di pelipisku. Bagaimana aku dapat menjawab sedangkan aku tidak dapat menemukan ingatan aku tentang hari itu.

"Maaf Mistyko. Kamu saya pindahkan ke sekolah lain"ucapnya.Aku mendongkak. Menatap matanya yang memerah. Memasang wajah tidak terima.

"Apa kesalahan saya pa?"Aku memberanikan diri bertanya.

"Semua orang di sekolah ini tahu bahwa kamu secara tidak langsung telah membiarkan temanmu menjadi korban kebakaran. Saya cukup berduka telah kehilangan putri saya satu - satunya. Namun, saya tidak bisa membiarkan kamu tidak hidup nyaman disekolah ini. Misiena sangat mengkhawatirkan kamu jika kamu sendirian di sekolah seperti ini. Dan saya berusaha mengerti keinginan putri saya. " Ucapnyamembelakangiku. Lagi – lagi aku hanya bisa membisu.Akumerasa amat disayangi oleh seseorang bernama Misiena.

"Saya mau sekolah disini pa. Saya akan buktikan ke anak - anak lain, bahwa hari itu saya tidak meninggalkan Misiena. Saya akan mencari tahu, mengapa hari itu kebakaran hebat bisa terjadi di sekolah ini. Saya permisi"

Akumenutuppintu dan menghirup banyak - banyak oksigen diluar ruangan. Perasaan ku sangat tidak beraturan. Aku tidak mengerti mengapa Miseana dapat menjadi korban dalam kebakaran hari itu. Aku berjalan ke ruang UKS untuk menenangkan diri. Kepalaku terasa nyeri ketika aku memaksakan otakku mengingat apa yang telah terjadi. Aku berhenti untuk melihat kantin yang hangus terbakar yang menyisakan abu dari potongan kayu - kayu.

"Misiena terjebak disini."Ucap seseorang yang mengagetkan ku. Membuat aku menoleh kearahnya.

"Ada berapa korban dari kebakaran kemarin?" Aku bertanya

" Satu. Hanya Misiena"ucapnya

"Bisa bantu aku?"Aku menoleh kearah anak laki - laki itu.

"Bisa bantu aku Gevan?"Aku bertanya lagi setelah menemukan namanya di bajunya. Setelah diam beberapa menit, dia mengangguk.

Disinilahkami sekarang, di ruang UKS tempat tujuan pertamaku setelah melihat kantin yang terbakar itu.

"Bisakamu ceritakan van, apa yang terjadi hari itu?"Aku memulai percakapan.

"Hari itu, aku tidak tahu banyak. Yang aku ingat, alarm kebakaran berbunyi ketika jam istirahat. Teman - teman ku bilang bahwa api pertama kali ditemukan di ujung kantin. Tempat Misena memesan makanan. Tapi teman - temanku juga bilang bahwa mereka melihat api dari laboratorium di lantai tiga. Setelah itu, anak - anak panik berlarian. Aku pun menyelamatkan diri dan ceritanya berhenti disana." Jelasnya. Aku berpikir sejenak. Dari ceritanya, aku hanya memiliki kesimpulan bahwa api berasal dari dua titik. Kedua tempat itu memilki kemungkinan yang cukup besar sebagai tempat awal mula api berasal. Namun, pikiranku masih janggal. Bagaimana bisa kebakaran hebat yang menghabiskan setengah bangunan sekolah megah ini hanya memiliki satu korban jiwa ? Dan itu sahabatku, Misiena. Ah lebih tepatnya, putri kepala sekolah. 

“ Van, bagaimana caranya mengingat seseorang? Maksudku, aku ingin mengingat Miseana sekarang. “ Aku akhirnya berucap sendu.

“ Miseana suka menulis. Mungkin saja Miseana meninggalkan sebuah buku berharga miliknya yang ia titipkan kepadamu?” jawab Gevan.

Aku menimbang sejenak. Aku teringat dengan sebuah buku yang aku temui dalam ranselku tadi pagi. Aku bergegas setengah berlari membuka pintu. Jantungku berdebar. Berharap bahwa, buku itu dapat mempertemukan aku dengan kenyataan sebenarnya. Aku menggeledah laci mejaku. Nafasku gusar. Aku membuka buku yang aku temukan. Aku menggeram kesal. Buku ini tidak berisi apapun selain catatan rumus matematika milik Miseana. Gevan ternyata mengikuti langkahku. Tubuhku benar – benar lemas. Air mataku merembas ketika aku menemukan namaku di halaman belakang buku itu. 

“ Sahabat cantikku, Mystiko” lirihku. Kepalaku terasa nyeri dan telingaku terasa berdengung. Aku memejamkan mata. Bayangan seorang perempuan yang sedang tertawa menyambutku. Perempuan yang cantik. Aku tersadar. Aku mengingat Misiena sekarang. 

Sebelum aku larut dalam potongan memori menyenangkan bersama Miseana, Gevan menarik tanganku. 

“ Ikut aku. “ ucapnya dan lagi – lagi, aku mengikutinya.Gevan membawaku kesebuah tempat berisi ribuan loker yang berjajar memenuhi isi ruangan. Mataku terdistraksi oleh sebuah loker yang hampir hangus. Nama Misiena Bramanto tertulis disana. Jemariku mencoba membersihkan sisa – sisa abu yang menggangu. 

“ Kamu lihat? Hanya loker milik Misiena yang hampir terbakar disini. Seseorang sengaja membakarnya.” Ucap Gevan

“ Kamu benar, Misiena menyembunyikan sesuatu yang terkait peristiwa kebakaran hari itu. “ aku bergumam. Lututku lemas. Aku memukul – mukul kepalaku dengan geram. 

“ kenapa kamu tidak ingat apapun Mystiko!” aku mengacak – ngacak rambutku kesal. Gevan menghentikan tanganku. Aku terjatuh. Menangis lemas. 

“ Coba ingat lagi Mystiko. Hari itu, apa Misiena memberimu sebuah benda?” Gevan berusaha menenangkan aku. Aku menggeleng. Air mataku merembas membasahi dasiku. Mengapa aku tidak mengingat apapun? Mengapa aku tidak mengingat apa yang terjadi hari itu? Misiena suka menulis. Gevan bilang bahwa Misiena akan lebih percaya dengan sebuah buku daripada seorang manusia. Namun aku membenci buku. Aku tidak membaca ataupun menulis. Dan apakah Misiena memberiku sebuah buku?

Aku ingat sekarang. Di hari ulang tahunku, Misiena memberiku sebuah buku.

“ Gevan, bisa antar aku ke ruang kelas 11 MIPA 1 yang dulu?” tanyaku.

Sial. Umpatku. Ruang kelas ini sudah mendekat kedalam kategori gudang baru. Meja – meja dan kursih berserakan. Aku tidak bisa mengenali mejaku. 

“ Misiena memberiku sebuah buku. “ ucapku. Gevan mengerti. Ia ikut menggeser meja dan membuka setiap laci. Namun nihil. Aku sudah menggeledah dua keliling namun aku tidak menemukan apapun. Begitupla dengan Gevan. Lagi – lagi perasaanku berkecamuk. Aku membenci diriku. Membeci diriku yang tidak bisa mengingat apapun. Dimana aku meletakkan buku itu? Ruang kelas ini tidak terbakar. Tapi mengapa ruang kelas ini sangat berantakan? Pertanyaan - pertanyaan menyesakkan muncul di kepalaku dengan tiba - tiba. Membuat aku meringis. Kepalaku nyeri luar biasa. Aku mencari sandaran dan kursih. Gevan menghampiriku. 

"Kamu tidak apa - apa Mystiko?" Gevan bertanya sambil memegang bahuku. Aku menggeleng. 

" Kalian mencari buku ini?" Seseorang berdiri di bibir pintu sambil mengangkat sebuah buku. 

" Kalian sia - sia jika mencari buku itu. Tidak ada apa - apa disana ". Orang itu melempar bukunya kelantai. Terjerembab. Aku bergegas mengambil buku itu. Aku menatap Gevan.sepertinya aku dan dia memiliki pertanyaan yang sama.

" Kebakaran hari itu adalah kecelakaan. Berhenti sampai disini. Jangan menyelidiki apapun jika salah satu dari kalian rela mengorbankan satu yang lain" orang itu berbalik pergi. Aku menahan tangan Gevan yang hendak mengejar. Orang itu berbahaya. Aku membersihkan buku yang aku yakini milik Misiena. Aku membuka buku itu. Halaman awal tidak tertulis apapun disana selain gambaran abstrak. Sepertinya Misiena juga senang menggambar. Sampai ke halaman tengah, orang itu benar. Tidak ada petunjuk apapun disini. Namun satu lembar kertas dalam buku ini telah dirobek. 

" Astaga, mengapa tidak apapun disini?" Aku menggerutu. Gevan mengambil buku itu dariku. Dia lebih teliti memeriksa setiap lembar dalam buku itu. 

" Aku yakin Gevan, orang itu yang merobek lembar berharga disini!" Aku berseru kesal.

" Tidak Mystiko. Coba lihat. Miseana menuliskan sebuah sandi disini. Rangkaian huruf yang unik. Aku yakin ini sebuah sandi" ucap Gevan. Aku memperhatikan kombinasi angka yang dimaksud oleh Gevan. 

" Apa kamu ingat Mystiko? Apa kamu pernah membuat sebuah kombinasi huruf sebagai sandi rahasia kalian?" Tanya gevan. Aku mengacak - ngacak rambutku dan berdiri.

" Kenapa pertanyaannya selalu ingat?! Ingat?! Aku tidak bisa mengingatnya Gevan! Aku tidak tahu jawabannya! Aku tidak tahu!" Mataku memerah setelah mengeluarkan nada tinggi. Gevan ikut berdiri dan menyentuh bahuku. 

" Tenanglah Mystiko, "

" Bagaimana aku bisa tenang Gevan! Bagaimana aku bisa tenang! Misiena sangat menyayangi aku! Bagaimana aku bisa tenang jika dia pergi dan aku tidak mampu mengingat apapun?!" Aku berteriak lirih. Aku benar - benar lelah. 

" Mystiko lihat aku!" Gevan mengangkat wajahku

" Kamu hanya harus percaya bahwa kamu bisa mengingat apapun! Kamu harus percaya sama diri kamu! Miseana bahkan udah percaya sama kamu! Kamu juga harus percaya sama diri kamu sendiri Mystiko!" Lanjut Gevan. Tangisku pecah. Bahuku bergetar. Aku sangat bodoh bahkan hanya untuk mengingat apa yang terjadi.

        Gevan bilang, bisa saja aku menulis kunci kombinasi huruf itu di dalam sebuah buku atau sebuah tempat dimana aku dan Miseana sering menghabiskan waktu bersama. Aku menggeladah lemari buku. Bisa saja aku menulisnya di buku harian hadiah ulang tahunku yang ke - 16. Dugaan ku tepat sekali. Aku menemukan kunci kombinasi. Aku menelepon Gevan dengan segera. Aku dan Gevan sepakat jika aku menemukan sandi itu, kami akan bertemu di taman perumahan. Aku melambaikan tangan ketika retinaku menangkap bayangan Gevan. Gevan berlari kecil. Kami membuka buku yang dibawa Gevan dan mencocokkan nya dengan sandi yang aku temukan. 

" Email tanggal 15" aku mengucapkannya bersamaan dengan Gevan. Aku menatap Gevan sesaat sebelum membuka ponselku. Mencari pesan yang masuk pada tanggal 15 lalu. Mataku berbinar. Email atas nama Misiena Bramanto yang belum aku buka. Aku menekan layar bilah pesan. Membacanya perlahan.

Mystiko, akhirnya kamu menemukan aku. Kamu hebat sekali. Bahkan ketika kamu tidak mampu mengingat apapun, kamu tetap dapat menemukan aku. Maaf tidak mengatakan ini padamu secara langsung. Katakan saja, jika aku sudah pergi. Katakan kepada ayahku bahwa jangan pernah percaya dengan kolega bisnisnya, Pa Reka. Aku mendengarnya malam itu saat pergi mencari hadiah ulang tahun untukmu. Pa Reka ingin menghancurkan sekolah yang dibangun kakekku dengan membakarnya. Awalnya, dia tidak menargetkan adanya korban jiwa, namun setelah aku ketahuan mendengar percakapannya, aku sepertinya akan menjadi korban. Katakan pada ayahku bahwa aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa menemui ayahku malam itu dan mengatakan ini kepadanya. Aku mohon bantunmu Mystiko.

Air mataku menetes lagi. Untuk sesaat aku membiarkan ingatan ku kembali sedikit demi sedikit. Mereka memperlihatkan kepadaku wajah Misiena yang terjebak di bangku kantin. Aku menelengkup wajahku.

" Kita tidak punya banyak waktu Mystiko. Ayo kita temui Pa Bram," Gevan menarik tanganku.

Kami berlari sekencang mungkin agar sampai tepat waktu namun kami terlambat. Pa Bram telah tiada. Garis polisi mengelilingi rumah bernuansa putih. Tetangga sekitar rumah asik berbisik bahwa mereka mendengar suara tembakan yang berasal dari dalam rumah. Pa Reka yang bajunya terkena cipratan darah digiring polisi. Lutut ku goyah. Aku terlambat lagi. Andaikan aku mengingat nya lebih awal. Andaikan aku mengingat semuanya. Semuanya tidak akan seperti ini. Gevan menepuk bahuku yang gemetar. Aku tidak ingin melakukan apapun sekarang. Hatiku berduka. Hatiku benar - benar hancur. 

" Mari kita pulang Mystiko. Semuanya sudah pulang" ucap Gevan. Aku terdiam di depan makam Misiena. Air mataku kering. Aku bahkan kehilangan tenaga untuk menangis lagi. 

" Mengertilah Mystiko, hidup selalu menuntut kita untuk selalu bangun setelah jatuh dan belajar dari pengalaman yang lampau, namun hidup tidak pernah mengajarkan kepada kita caranya. Caranya untuk bangkit dan mengingat." Gevan menepuk bahuku. Aku menatapnya dan menatap batu bertuliskan Misiena.

Kamu benar, hidup tidak pernah mengajarkan kepada kita caranya mengingat. 








Share:

Kamis, 11 Maret 2021

Hidup dan Caranya Hidup

       Orang –orang bilang, katanya bermimpilah setinggi langit. Setinggi yang kamu bisa. Setelah itu jangan lupa untuk mewujudkannya. Sebenarnya,manusia punya hak untuk memilih mimpi mana yang akan menjadi cita –citanya kelak. Dalamserangkaian usaha untuk mewujudkan mimpi, kita harus siap dengan segala kemungkinan yang datang. Entah itu kegagalan misalnya, atau bertemu dengan jalan buntu yang membuat diri kita memiliki keinginan untuk menyerah. Hidup selalu menuntut kita untuk selalu bangkit setelah jatuh, berlapang dada setelah menerima kecewa dan tetap kuat ketika semesta membuat perasaan kita patah. Namun hidup tidak pernah mengajarkan kita caranya. Caranya untuk bangkit, caranya untuk tetap berlapang dada bahkan caranya untuk berjuang mewujudkan mimpi yang sudah kita gantungkan di langit –langit. 

Mari kita bahas dari sini. Apakah kamu pernah memilikisebuah mimpinamun kamu tidak mendapatkan dukungan bahkan dari orang –orang terdekat kamu sendiri? jika pernah, jangan lupa bersyukur karena mampu melewatinya dan bertahan sejauh ini. Jika kamu belum pernah, bersyukurlah kamu karena tidak bertemu dengan hal –hal seperti itu. Bagaimana reaksimujika ternyata mimpimu tidak direstui oleh semesta? aku harap kamu tidak menyerah. Karena dulu, aku pun berusaha untuk tidak menyerah meskipun terlintas pikiran untuk menyerah. Sekali lagi, hidup mungkin tidak mengajarkan secara eksplisit kepada kita bagaimana caranya untuk tidak menyerah bahkan terhadap hal –hal yang memiliki kemungkinan amat kecil. Lalu apakah ada hal –hal yang dapat kita lakukan? Jawabannya adalah selalu ada. Kamu dapat memperbaiki cara kamu untuk mendapatan mimpi itu. Misalnya,aku bercita –cita menjadi seorang dokter namun aku tidak mendapatkanrestu dari orangtuaku mengingat kondisi ekonomi keluarga kami tidak mampu membiayayai sekolahku dengan cara reguler. Maka,aku tidak lantas menyerah untuk menjadi dokter. Aku tetap menjadikan dokter sebagai cita –citaku yang kelak akan aku wujudkan. Namun,aku berusaha agar kedua orangtuaku tidak memberikan sepeser rupiahpun untuk biaya sekolahku. Aku mendaftarkan diri mengikuti salah satu program beasiswa. Dan alhasil, aku tetap memiliki cita –cita seperti itu.

Lalu bagaimana jika kamu memiliki keinginan namunkamu tidak memiliki kesempatan?. Aku tidak bicara bahwa hidup memberikan kesempatan dalam bentuk yang sama kepada semua orang. Terkadang,kesempatan seperti menampakkan diri hanya kepada orang –orang tertentu dan sering kali diri kita mungkin tidak termasuk kedalam kategori tersebut. Memang seperti itu ataukah kita sendiri yang tidak menyadari kesempatan juga datang kepada kita? Sekali lagi, hidup mungkin tidak mengajarkan secara eksplisit caranya menemukan kesempatan.Bahkan,semesta turut berkontribusi memberika rasa kecewa jika kita tidak diberi kesempatan untuk mewujudkan keinginan kita yang sudah kita bangun jauh –jauh hari. Pernahkah kamu merasa demikian? Jika iya, selamat telah mampu berdamai danbangkit dari keadaan seperti itu. Karena di hari lalu pun, aku merasa demikian. Bahkan aku sampai paa titik ingin membenci semesta yang mengizinkan aku hidup seperti ini. Dimana,aku tidak tinggal dengan kemudahan memperoleh kesempatan. Apakah aku menyerah? Tidak.Aku tidak menyerah meskipun aku berpikir untuk menyerah. Aku berusaha untuk membuat kemampuanku lebih terlihat dibandingkan dengan orang –orang yang aku kira hidupnya dipenuhi kemudahan. Aku membuat namaku lebih mudah diingat dibanding orang –orang yang aku kira hidupnya sudah punya banyak kesempatan. Aku membuat hari –hariku menghasilkan dua kali lebih banyak dibandingkan mereka meskipun sebagai gantinya, aku harus merasakan dua kali lebih lelah. Hasilnya,aku punya kesempatan juga. Kesempatan untuk mewujudkan mimpiku meskipun aku harus melakukan cara yang berbeda. 

Percayalah bahwa, terlepas dari siapapun kamu di bumi ini, kamu berhak untuk menggantungkan mimpi kamu di langit –langit setinggi mungkin. Kamu tidak perlu membuktikan kepada siapapun bahwa kamu memiliki mimpi yang tinggi dan sedang berusaha menjadikannya sebagai sebuah kenyataan. Kamu hanya perlu membuktikannya kepada diri kamu sendiri.percayalah bahwa mimpi yang telah kamu gantungkan mampu diwujudkan. Hidupmungkintidak mengajarkan secara eksplisit caranya menggapai mimpi namun hidup memberikan kamu kebebasan yang mungkin tidak dimiliki makhluk lain pada dimensi yang lain. Istirahatlah jika lelah, berhentilah jika kamu merasa akan runtuh namun jangan pernah berakhir.



Dari yang suka melahirkan kata,

Najwa Nabila



Share:

Senin, 07 Desember 2020

Ingat Aku?

 Ingat Aku?
 


Namaku Are. Singkat saja panggil aku Are. Aku siswa tingkat akhir di salah satu sekolah negeri ternama di kota tempat tinggalku. Lusa kemarin, aku sudah memutuskan untuk tidak mengupload apapun di blog pribadiku karena aku ingin fokus dengan ujian akhir semesterku.

Perlu kamu tahu, aku punya sebuah kelompok belajar yang punya rutinitas berkumpul dimasa – masa tertentu. Sebut saja seperti masa seperempat semester,setengah semester atau akhir semester. Kami berlima. Aku, Rendi, Reihan, Bani dan Sella. Mereka adalah dua puluh lima persen terbaik dikelasnya. Ya,bisa dibilang, anggota kelompok kami ini adalah orang – orang yang namanya dikenal di bidang akademik.

 

Aku tidak akan menceritakan lebih jauh bagaimana karakter mereka atau siklus hidup mereka. Karena, tujuanku melanggar keputusanku kemarin lusa bukanlah untuk itu. Ada yang menarik. Kabar – kabar simpang siur yang dibawa oleh angin sebagai teman turunnya hujan sore ini. Kami melakukan pelanggaran. Itu yang angin katakan.

 

Jujur saja,aku tak tahu apakah kabar itu dirujukan untuk kelompok kami atau hanya celetukan tidak bermoral yang menuduh seseorang melakukan kecurangan.  Aku pikir, aku tidak perlu menceritakan lebih lanjut bagaimana sistem dikelompok kami bekerja. Aku tahu kamu sudah punya hipotesis sendiri bukan?

 

Mari bicarakan ini. Sederhana saja. Kita hanya butuh parameter yang jelas untuk mengatakan sesuatu atau menempatkan sesuatu agar tepat.  Kamu ingin aku mengikuti parameter mu?

Baiklah. Mari kita berangkat dari sini. Melihat buku catatan adalah kecurangan ketika ujian. Kami sepakati itu. Kamu juga menjustifikasi bahwa itu dapat dilakukan di dua skenario berbeda.sendiri dan berkelompok. Aku sebagai Are atau kamu sendiri bisa saja melakukan itu, mengingat sistem yang dibuat oleh sekolah tidak seketat itu bukan? Atau kelompok kami maupun sekelompok orang yang mengerjakan ujian ini di satu atap  yang sama juga bisa melakukan itu. Sekarang, adilkah jika semesta hanya memberi label bahwa hanya beberapa orang di satu atap yang mampu melakukan kecurangan?  Aku sebagai Are, tidak sepakat dengan itu.

 

Lagi – lagi aku mengikuti parameter mu tentang kejujuran. Aku sedikit rancu dengan hal ini. Maksudmu, jujur karena memang tidak bisa menuntaskan kompetisi dasar? Atau jujur bahwa sebagai murid pemuja nilai? Jika maksudmu jujur menurut poin pertama, bukahkan tenaga pengajar kita lebih mengerti hal itu. Maksudku, sebagai Are yanghampir 11 tahun duduk di bangku sekolah, aku mengerti ada kompetisi dasar yang harus tuntas sebagai syarat seorang murid naik kelas. Beberapa tenaga pengajar maksudku, yang dianggap pelajarannya adalah pelajaran pembantu, hanya menjadikan ujian sebagai formalitas. Tapi tahukah kamu? Ada beban moral yang  tidak bisa lepas untuk  beberapa orang seperti aku. Bayangkan saja, misalnya aku sebagai Are atau kamu sendiri mengerti bahwa gurumu tidak mungkin memberikan nilai akhir yang buruk mengingat kamu adalah murid yang baik, penurut dan rajin terlepas seberapa besar nilai ujianmu. Karena, esensi pendidikan tidak sebatas itu. Baginya, nilai ujian hanyalah penyumbang persentase yang tidak signifikan.  Tapi bagaimana dengan temanmu yang membuat dirimu adalah standar nilai mereka? Mereka akan bahagia jika  nilaimu dibawah meraka? Lalu namamu ditempatkan dibawah. Bawah sekali sampai semua orang bisa menginjaknya. Lantas apakah kita harus jujur saja? Bagimana cara mengatakannya? Jujur bahwa kita tidak mungkin bisa menuntaskan semua kompetisi dasar karena banyak sekali keterbatasan kah?

 

Lalu bagaimana jika jujur bahwa sebagai murid, sepolos apapun ia, ia adalah pemuja nilai. Standarisasi yang diciptakan oleh lembaga atau lingkungan sekitarnya yang menjadikan nilai adalah satu – satunya parameter tingkat pemahaman dan kecerdasan. Bukan kah kita semua mengerti, dengan segala keterbatasan, apa yang akan ia lakukan? Berat bukan menjadi seorang ia? Bagiamana? Kamu merasa telah tidak jujur pada dirimu sendiri sampai disini?

 

Sebagai Are, aku tidak menoler bentuk kecurangan sebagaimanapun persentasenya. Tapi menurutku, bukahkah kurang adil jika hanya buruk yang menjadi label bagi sekolompok orang?

Oh, ada poin terakhir yang ingin kamu  bahas lagi? Tentang kerjasama yang memperjelas bentuk kecurangan. Kita sepakat bahwa kecurangan tidak bisa ditolerir bukan? Lalu adilkah jika lagi – lagi label pelanggaran hanya diberikan kepada bentuk kerjasama dengan media manusia?

Menurutmu,sebagai murid dan aku sebagai Are, Sekelompok orang di satu atap bisa saja melakukan sistem kerjasama yang kamu sebut itu. Tapi apakah satu orang tidak bisa  melakukan itu?dengan kecanggihan teknologi dan sistem yang tidak terlalu ketat? Sudah bertemu jawabannya? Apakah itu tidak bisa disebut sebagai kerjasama juga?

 

Tidakkah kamu berpikir bahwa orang – orang yang kamu curigai ternyata lebih membenci kecurangan, lebih jujur dan menjauhi kerjasama ketika ujian dibanding dengan dirimu sendiri. 

 

Kamu tidak perlu mengakui, ingatlah aku, Are yang sore ini membantumu mengerti sebelum menggiring opini publik bahwa dengan segala kecurigaan, hipotesismu akan benar.

 

Share:

Selasa, 24 November 2020

Aku adalah Najwa

 Aku adalah Najwa

Aku Najwa Nabila. Panggil saja aku Najwa atau Na. Aku lahir di Kuningan pada tanggal 16 Maret 2003. Catat ya, aku masih berusia 17 tahun saat ini dan tercatat sebagai seorang siswi di SMA Negeri 1 Cilimus. Sudah hampir lima semester namaku berada di daftar absensi tiga kelas yang berbeda. Aku menyukai hal – hal yang mengasah kemampuan berpikir dan juga kreatifitasku. Aku juga menyukai beberapa pelajaran yang menjadi primadona di jurusan sekolahku seperti kimia, matematika dan sejenisnya. Aku adalah seorang kakak untuk tiga orang adik yang menggemaskan. Aku memiliki ayah yang sangat luar biasa juga seorang ibu yang sangat baik hati.

Ketika aku kecil, aku sangat menyukai matematika. Berbagai macam kompetisi seperti olimpiade sudah aku geluti semenjak aku kelas 4 SD. Tak hanya itu, aku juga sangat senang menulis cerita dan bercerita.  Sebenarnya aku sudah mengikuti berbagai macam jenis kompetisi semenjak aku duduk di bangku Taman Kanak – kanak. Dimulai dari kompetisi hafalan Al – Qur’an, Calistung, Pasanggiri dongeng, Pasanggiri Ngarang Sunda, Olimpiade MIPA, Cerdas Cermat MIPA, Cerdas Cermat PAI, Pidato, Cerita Nabi dan lain sebagainya. Ketika aku duduk di banngku menengah pertama, aku lebih sering mengikuti kegiatan Kepramukaan baik itu tingkat ranting, cabang maupun daerah. Aku juga masih sering mengikuti kompetisi Pidato 3 bahasa, Kompetisi Sains Madrasah, dan beberapa event yang diselenggarakan oleh instansi di sekitar sekolahku.

Memasuki dunia putih abu – abu, aku tersadar satu hal. Untuk menggapai cita – cita, aku butuh fokus pada satu bidang. Disamping aku juga menyadari bahwa ada tiga hal yang selama ini menemani perjalananku menempuh pendidikan dan aku mulai lebih memfokuskan diri untuk mengasah tiga hal itu.

Semester pertama,aku mulai mengasah kemampuan berbicaraku. Aku mendaftarkan diri di ekstrakulikuler debat.  Disana, aku bertemu dengan orang – orang hebat. Orang – orang yang tidak hanya pandai berbicara ataupun berkomentar,namun juga memiliki wawasan yang luas dengan elaborasi pemikiran yang luar biasa. Aku kembali menyadari satu hal,ada bekal yang harus dimiliki oleh seorang manusia terlepas dari apapun pekerjaannya. Ya, membaca. Di semester pertama pula aku diberi kesempatan untuk mencoba langsung atmosfer kompetisi debat yang sesungguhnya. Meskipun dalam kegiatan itu tim sekolahku belum bisa membawa pulang plakat kejuaraan, namun kami tetap semangat dan tetap bisa  belajar. Karena seperti yang pelatih kami katakan, dalam setiap kompetisi ataupun kegiatan yang dilihat adalah prosesnya. Proses untuk mencapai ataupun sampai pada target masing – masing. Ketika kita menikmati setiap prosesnya dan terus berproses untuk membuat tujuan kita benar – benar terealisasikan, kita akan sampai pada titik yang luar biasa dengan target – target yang sudah tercapai. Dan benar, ketika aku berusaha fokus  dan tulus, kemenangan selalu datang dalam setiap kompetisi yang aku ikuti. Dimulai keluar sebagai juara 2 LDBI ARESTA Tingkat Jawa  Barat, juara 1 Debat PAI Tingkat Kabupaten, Juara 3 Debat Kesehatan CAB Tingkat Wilayah III, Juara 3 LDBI PERISAI dan juara 1 LDBI KRISTAL Tingkat Provinsi. Berkat kerjasama tim yang baik, aku pun mendapatkan nominasi pembicara terbaik pada LDBI KRISTAL dan Pembicara terbaik kedua tingkat provinsi pada LDBI 2020 yang diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Nasional.

Motivasiku untuk mempertahankan prestasi akademikpun tak pernah hilang meskipun aku sempat turun peringkat ketika aku kelas 4 SD, namun itu tak membuat aku menyerah untuk mengejar ketertinggalan dan sampai saat ini,  aku masih bertahan di urutan pertama pemeringkatan nilai di kelas. Guru – guruku mengajarkanku satu hal selain mata pelajaran yang wajib aku pelajari ketika bersekolah. Mereka berkata bahwa ketika kamu sempat gagal, kamu tidak punya alasan untuk menyerah dan berhenti. Meskipun saat itu aku sempat gagal  pada OSN Kebumian tahun 2019, tapi aku berhasil mewakili kabupatenku pada ajang yang sama di tahun setelahnya yaitu tahun 2020. Aku juga pernah gagal dalam pemilihan bakal calon ketua OSIS selama dua periode, namun saat ini aku dipercaya untuk menjadi Pradana Putri Pramuka sekolahku dan menjadi duta baca sekolah generasi pertama.

Kehidupan memang selalu menuntut kita untuk tetap bangkit setelah jatuh, kembali berusaha setelah bertemu kegagalan dan berdamai setelah dicurangi oleh yang lain. Namun kadang kita lupa untuk bernafas dengan ketulusan dan keikhlasan. Ikhlas ketika harus bangkit lagi,berusaha lagi, berdamai lagi dan tulus dalam menjalani setiap prosesnya. 

Share:

Selasa, 05 Mei 2020

Delusive " Bagian Keenam"




Bagian Keenam


“ Dia masih memiliki hak untuk mengenal perempuan lain selain aku. “


Sore itu ribuan rinai turun menyapa bumi. Membuat beberapa petak tanah di sekolahku basah dan menahan beberapa siswa pejalan kaki seperti aku agar berdiam diri di sekolah lebih lama.

Aku menadahkan tanganku ke atas. Menyapa gerimis yang semakin lama semakin deras. Jika saja kemarin sore aku melancarkan niatku untuk memberi makan ponselku, mungkin saat ini aku bisa menelpon adikku agar menjemput. Tapi, itu hanya dapat menjadi pilihan kedua. Pasalnya adikku yang berusia satu tahun lebih muda dariku tidak mudah terbujuk untuk untuk keluar rumah dan menjemput kakaknya yang tertahan hujan.

Lihat, langit semakin gelap dan sekolah semakin sepi namun rinai itu belum juga berhenti. Aku menengguk silivaku. Meyakinkan diriku agar siap menerima resiko ketika aku memilih rencana A. berlari Bersama hujan sampai ke rumah. Memang tidak ada resiko yang terlalu vatal ketika memilih untuk berlari di bawah hujan. Hanya saja, aku kurang siap untuk mengeringkan bajuku karena baju ini masih ku pakai sebagai seragam esok.

Namun, mau bagaimana lagi? Tak ada pilihan yang lain yang memeiliki resiko lebih kecil. Mirisnya, diantara deretan siswa yang mengeluarkan payungnya, aku tak menemukan sosok yang aku kenal untuk berbaik hati agar tubuh kecilku bisa menggunakan paying itu Bersama.

Ah iya, Payung. Laki – laki itu. Aku tak menemukan ia hari ini. Aku tak dapat menemukan ia dimanapun karena aku tak mengetahui nama lengkapnya. Remaja laki – laki yang aku temui malam itu. Remaja laki – laki yang hanya diam, menatap, mendengus pelan ketika aku mengajaknya berbicara. Remaja laki – laki yang beberapa hari lalu membantuku berdiri dan memberiku sebuah jawaban bahwa ia tidak bisu seperti apa yang aku pikirkan.

Dan sekarang, aku melihatnya. Di sebelahku. Tepat disebelah kananku.

“ Hai Jea, kamu belum pulang ?” laki – laki itu membuat ku terkejut lagi.

“ aku masih disini itu artinya aku belum pulang.”

“ memangnya kamu sedang apa?”

Tunggu, dia bertanya aku sedang apa? Ah, tidakkah matanya yang bulat itu tak bisa mengirimkan saraf di otaknya bahwa aku sedang menunggu hujan?

“ menunggu hujan,” jawab ku singkat.

“ apa yang kamu tunggu dari hujan?” ia kembali bertanya.

Aku berdecak pelan, mengalihkan pandangan. Tanpa menjawab. Namun, aku takut ia menganggapku bisu saat itu.

“ menunggu rinainya berhenti jatuh.”

“ kalau begitu kita sama.” Ia hanya tersenyum percaya diri lalu meniru apa yang aku lakukan. Menadahkan tangan keatas dan menyapa rinai.

“ mau pulang bersamaku Jea? “

Aku menengok untuk menatapnya lagi. Pertanyaan yang ia lontarkan membuatku kaget. Apa katanya? Ia mengajakku pulang?

“ memangnya kita searah?”

“ emmm, tidak tahu sih, memangnya dimana rumahmu?” ah, yang benar saja. Dia ini terlalu lucu.

“ Rumahku di depan perumahan sana. Kamu ingat tempat pertama kali aku mengajakmu bicara? Ya, di dekat sana. “

“ baiklah, ayo pulang. “
Ia membentangkan jaketnya untuk menutupi kepalaku dan kepalanya. Dan untuk pertama kalinya, aku menganggap remaja laki – laki disebelahku ini akan menjadi teman baruku.

Tak banyak yang kami bicarakan dalam perjalanan pulang. Setidaknya aku punya teman bicara dalam perjuanganku menerobos hujan hari ini. Dia lawan bicara yang menyenangkan. Berbeda sekali dengan remaja laki – laki yang kutemui malam itu.

“ Terima kasih Payung, ini rumahku. Kamu mau masuk?” aku bertanya basa – basi, lagi pula ibuku yang penyabar itu tak akan mengizinkan laki – laki manapun untuk mampir.

“ Tidak, ini sudah larut. Aku mau pulang. Rumahku setelah belokan di depan.” Ia tersenyum, beranjak pergi dan aku membuka pintu.

Aku tak lekas beranjak dari jendela untuk melihat punggung itu menjauh dari rumahku. Karena dia, masih berada di depan halamanku. Berbicara dengan seorang gadis yang satu usia dengan ku. Jeaneva Azzahra. Tetanggaku sekaligus teman masa kecilku.

Ada bagian kecil di dalam tubuuhku yang menunjukan bahwa aku tak menyukai pemandangan itu. Aku menepisnya, Payung bukan siapa – siapa untuk ku.  Dia hanya akan menjadi teman baru.


Share:

Minggu, 29 Maret 2020

Cerpen Tema Kenangan " Suara Hujan di Bulan Februari "


Suara Hujan di Bulan Februari

“ Masih tentang kamu dan tentang hujan dengan rekam – rekam jejak setelah Februari  berlalu”

         Aku tak tahu, dari bagian mana aku harus mengawali ceritaku. Dengan aku memperkenalkan tokoh – tokoh dalam  cerita ini atau terlebih dahulu memperkenalkan diriku? Sepertinya, Aku harus mengurungkan niat untuk secara langsung melahirkan kata yang menggambarkan diriku dari sudut pandang sebagai aku. Aku memberi  kebebasan kepada kalian untuk mengambil kesimpulan tentang diriku seutuhnya.karena memang seperti itu bukan? Meskipun dalam secarik kertas ini aku telah mendoktrin kalian untuk sepakat bahwa aku adalah seorang perempuan yang  mecintai kebebasan, kalian tak akan percaya bahwa aku juga menjauhi sempurna.

Aku lebih suka mengawali ceritaku dengan tokoh – tokoh yang menyenangkan menurutku. Tak banyak, karena aku tidak berinteraksi dengan semua penduduk bumi ini. Atau mungkin harus aku beri tahu juga bahwa aku bahkan hanya mengenal segelintir manusia yang namanya sama – sama tercatat di buku besar milik sekolah kebanggaanku.

Namanya Bumi. Aku tidak sedang bergurau, namanya benar – benar Bumi. Aku lebih suka  mengartikan namanya sebagai Do’a kebaikan yang menggambarkan betapa pentingnya sebuah kata berbagi dalam kehidupan. Aku memikirkan makna dari namanya yang menurutku sangat asing jika kata itu dijadikan nama panggilan bagi seseorang. Bahkan aku mengaitkannya dengan hal-hal aneh yang mungkin saja bisa menjadi jawaban  mengapa orang semenyenangkan dia bernama Bumi. Dan akhir –akhir ini aku tahu mengapa aku tertarik untuk memikirkannya berkali  -kali. karena dia berbeda. Klasik? iya, aku mengakuinya. Aku sendiri kadang suka geram ketika sebagian dari penghuni kelasku lebih memilih menjadi berbeda. Tapi kali ini laki – laki bernama Bumi itu benar – benar berbeda.  Dia memiliki perawakan yang biasa – biasa saja, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu memiliki timbunan lemak  atau bahkan aku berani taruhan jika kalian bertemu dengannya, kalian akan sepakat menyebutnya laki – laki yang imut. Dia memang seperti itu,saat pertemuan pertama kami,tubuhnya tidak berubah sama kali. Lalu apa yang membuatnya berbeda?

Senyumnya. Senyumnya benar – benar berbeda.  Garis lengkung yang tercetak diwajahnya memiliki magnet tersendiri. Aku bahkan kembali mengingat bagaimana garis lengkung itu aku terima dari seorang bumi,dan aku kembali tersenyum untuk saat ini. Aku harap  kalian tidak tertarik untuk bertemu dengannya atau mengajaknya berbicara di waktu yang panjang. Aku tidak mau memiliki saingan untuk saat ini. Ha ha ha, aku bergurau. Dia seorang pendiam yang mungkin tidak terlalu memiliki stok kata di dalam faringnya.

Namun mungkin saat ini semesta tengah berbaik hati. Aku mendapatkan balasan dari beberapa pesan yang coba aku kirimkan kepada Bumi. Dan aku mendapatkan fakta baru tentangnya, Dia sebuah planet. Maksudku dia bukan sebuah planet berbentuk bulat pepat yang saat ini menjadi satu – satunya planet yang dapat dihuni, dia sebuah planet untuk orang – orang lain disekitarnya.
Laki – laki bernama Bumi itu ternyata memiliki sisi yang sangat menyenangkan.  Dia memiliki selera humor yang lebih berkelas daripada aku. Dia mampu menempatkan dirinya dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun. Dia menerima semua makhluk hidup yang ingin berteman dengannya atau mungkin aku berani taruhan jika ada semut yang mendekatpun, dia akan mengrekrutnya sebagai teman.  Itulah sebabnya aku melihatnya sebagai sebuah planet daripada menyamakannya dengan sebuah bintang. Dia memiliki orang – orang menyenangkan dalam hidupnya yang selalu ada untuknya. Teman – temannya tidak mengitari dirinya karena dia bukanlah sebuah bintang dengan gaya gravitasi yang besar. Bumi dan teman – temannya mengitari sebuah bintang yang cantik. Tentu saja bukan aku. Bintang itu adalah Ilisha, Ratu Bumi. Dua insan itu memiliki nama yang dapat melengkapi satu sama lain. Gravitasi yang dimiliki  seorang Ilisha mungkin berkali – kalilipat dibandingkan dengan gravitasi milik planetku. Ah ya,dia adalah sebuah bintang sedangkan aku hanyalah sebuah planet biasa.

Aku tidak cemburu. Aku hanya mengangumi seorang Bumi tanpa berharap bahwa dia juga punya kadar kekaguman yang sama untukku. Aku lebih mendukung Bumi menjadi milik Ratunya,Ilisha daripada menjadi milikku. Aku tidak sedang berdrama dengan berakting seperti tokoh paling menyedihkan dalam cerita  ini. Aku benar – benar mendukungnya. aku yang mengatur jadwal antara Bumi dan ratunya menghabiskan waktu libur berdua. Aku yang membelikannya tiket menonton, voucher makan dan sebagai bonusnya aku bisa belajar bersama Bumi. Seperti simbiosis mutualismekan? Aku sama sekali tidak merasa dirugikan.

Ilisha adalah perempuan yang sangat cantik. Ia pandai merawat dirinya dan berdandan sewajarnya. Dia teman baruku setelah aku mengenal Bumi dan teman – temannya. Dia sangat ramah dengan senyum hangatnya. Sama seperti Bumi, dia juga teman yang menyenangkan. Hanya saja kisahnya dengan Bumi tidak bisa kukatakan berjalan lancar. Adikku,Rangga menyukai Ilisha. Aku tidak tahu apakah Ilisha menyukai adikku juga,hanya saja yang kulihat dari sikapnya,dia lebih hangat terhadap adikku daripada Bumi. Dan fakta itulah yang membuat aku dan Bumi memiliki sekat. Dia menjadi berbeda. Dia tetap ramah namun sapaannya tidak menyenangkan.

“ Aku tahu kamu menyukaiku Ra.” Mataku hampir keluar mendengarnya.

“Ah,soal itu aku kira kamu gak tahu Mi.”aku hanya cengengesan.

“ Aku juga tahu adikmu yang bernama Rangga itu menyukai Ratuku,Ilisha.” Ucapnya dan aku hanya diam

“ Menyerahlah Ran, aku gak mau kamu membenciku karena ini.aku hanya menyukai Ilisha. berhenti mendukung hubungan adikmu dan ratuku.”ucapnya dan membuat aku semakin menatapnya heran.

“Bukannya karena ini, kamu yang lebih dulu membenci aku Bumi? “ aku tersenyum ringan. Menghindar dari segala rintik air agar aku tidak berteriak kepada Bumi. Lagi pula manusia mana yang ingin disalahkan bukan? Apalagi untuk menikmati rasa yang robot  canggihpun tak bisa memilikinya.

Dan mulai hari itu aku memutuskan untuk membuat jarak dengan bumi. Soal adikku,aku tidak sepenuhnya setuju jika Rangga yang pada akhirnya memiliki hati si ratu bumi.  Bahkan,setelah kepergian ayah,penyebab kami bertengkar adalah karena Ilisha. Ilisha sering bercerita bahwa aku selalu menjelek –jelekkan dirinya di depan bumi dan itu membuat adikku marah besar. Ada bagian yang tidak aku mengerti disini. Mengapa Ilisha melakukan itu pada aku. Atau mungkin Ilisha takut aku merebut Buminya dan Rangganya.

Aku tidak lagi menyapanya ketika aku dan Bumi berpapasan di koridor sekolah.  Aku mencoba berbenah. Berbenah dari segala rasa yang pernah muncul atas nama Bumi.

“ Ra..” Bumi memanggil namaku setelah hampir 3 minggu kami tak bertukar sapa

“ Kenapa?” aku bertanya

“ Kamu punya masalah apa dihidup kamu Ra? Kamu tau aku suka Ilisha. Berhenti buat dia sakit hati Ra.” Nada suara Bumi meninggi.

“ Maksud kamu apa Mi? Siapa yang buat sakit hati siapa? “ aku balas menatapnya.

“ Kamu bertanya sama Bumi?” dia mendekat. Seram.

“ Kenapa si Bumi? Semua orang mudah banget menyalahkan orang lain?” aku membentaknya. Membentak manusia yang menurut aku paling menyenangkan di planet ini.

Bumi hanya diam. Aku berlari menjauhi planet itu. Planet yang sepertinya hanya mengecualikan aku untuk menjadi satelitnya. Aku benar – benar kecewa hari itu. Semesta seperti memberikan dukungan dengan awan – awan kelabu yang terus saja menurunkan gerimis. Dan aku sendirian. Tidak punya tteman karena hanya Bumi yang mau menerima aku sebagai teman. Atau harus aku ralat? Bumi yang dulu sebelum Bumi tahu aku menyukainya.

Apa salahnya sebenarnya jika kita memutuskan menyukai orang lain tanpa berusaha membuat orang itu memiliki kadar kesukaan yang sama dengan apa yang kita punya? Jika perasaan aneh ini hanya boleh dinikmati oleh beberapa orang saja, apa aku dikecualikan? Aku hanya mampu berteriak pada relung yang tidak mampu didengar seperti suara hujan. Februari yang lalu, hujan selalu disalahkan. Karena genangan, air bersih hilang, mereka menyalahkan sesuatu yang sebenarnya sudah lumrah. Sesuatu yang sebenarnya mampu dicegah dan diperbaiki seperti pertemanan aku dengan Bumi.



Share:

Kamis, 30 Januari 2020

Cerpen Tema Kenangan " Seperti Hujan di Bulan Januari "

Seperti  Hujan di Bulan Januari

“ Aku tahu,kisah kita seharusnya dapat berakhir dengan baik. Aku dan kamu seharusnya sama – sama mengerti. Seperti Januari yang perlu waktu beradaptasi.”

                Seperti bulan Januari yang selalu menjadi awal bagi tahun dan harapan yang baru, Kisah kita berawal dari temu tidak disengaja. Sebelumnya aku tak pernah tahu bahwa semesta melahirkan seorang anak laki – laki seperti dirimu. Sebuah nama yang dimiliki oleh seorang pengirim pesan yang memenuhi ruang obrolan di ponselku akhir – akhir ini. Lagi pula perempuan mana yang mampu menolak sapaan ramah dengan ketukan pintu yang sopan? Siapapun yang tidak memandang rupa,aku rasa perihal kenyamanan hati yang dicari bukan ?

Awal dari kisah kita memang tidak berjalan dengan baik. Sebelumnya bahkan kita tak pernah bertatap muka hanya untuk sekadar menyebutkan nama. Seperti awan- awan disana yang tiba – tiba menumpahkan kekesalan tanpa tanda.
Sebuah permintaan lagi – lagi menjadi alasan kita mewujudkan temu. Aku masih ingat bagaimana dulu kamu yang bahkan tidak tahu banyak tentang aku, meluangkan waktumu untuk menunggu.  Padahal saat itu,aku sendiri masih diselimuti oleh ragu

“ Aku pulang sendiri aja A Ifa,” Aku menghampirinya sekejap

“ Aku udah nunggu loh Na, kan sekarang hari kamis.” kamu mengelak.

“ Aku masih bisa sendiri A Ifa” Aku berlalu meninggalkan dia untuk menciptakan jarak. Dan kamu pergi tanpa mengejar lagi.

Aku juga masih ingat bagaimana dulu caraku menimbang – nimbang. Di tengah beberapa kabar yang aku dengar tentang dirimu dan menambah volume raguku untuk memutuskan menandai namamu.  

“ Kamu tahu Na, dia itu tipikal laki –laki yang hidupnya penuh dengan penasaran.” Temanmu yang memperkenalkan kita mulai berbicara.

“ maksudnya penasaran?” aku kembaliheran.

“ Ya gitu, kalau rasa penasarannya udah terjawab,ya selesai. Maksudnya dia bisa terlalu cepar mengakhiri dan memilih awal yang baru. “ dia menjelaskan lagi.

Aku hanya mengangguk.

“ Aku udah anggap kamu seperti adik. Jadi hati – hati. Meskipun disini aku sebagai temannya yang harus mendukungnya,tapi untuk yang satu ini aku berdiri di oposisi. “

“ Aku tahu. A Arif memang kakak aku.”

“ Sebenarnya semuanya ada di keputusan kamu. Aku cuman bisa berharap kalau nanti  kamu milih dia dan yakin dengan dia, kamu dan dia selalu baik – baik saja. Bagaimanapun juga Na..” laki-laki di hadapanku ini menatapku sepenuhnya.

“ Menyukai seseorang tidak semudah itu.” Dia tersenyum. Mengacak – ngacak rambutku kemudian pamit pulang.

Kamu harus tahu,ada satu hal lagi yang membuat aku sepenuhnya membiarkan kamu dengan aku yang lain dan mulai menciptakan sekat agar kita tidak bertemu.

“ Kamu dulu pernah cerita sama aku tentang kakak kelas yang ini kan? “ temanku memperlihatkan fotomu.

“Iya,kenapa? Oh iya,aku dengar kalian satu ekstrakulikuler sekarang ya?” aku tersenyum.

“ Justru itu yang aku mau bicarain sama kamu Na, “ alisku terangkat mempersilahkan dia untuk melanjutkan ceritanya.

“ Aku dengar dia lagi membuat hubungan serius sama salah satu anak di ekstrakulikuler itu.”

“Maksudnya?” aku bertanya lagi.

“ Rani, kamu tahu kan? Iya, dia deket - deket sama anak yang namanya Rani.” Ceritanya selesai. Temanku menatapku iba. Aku hanya tersenyum. Menyingkirkan segala prasangka buruk tentang kamu.

Entah siapa yang pergi dengan siapa. Atau siapa yang ingin pergi dan mengajak siapa. Pada akhirnya, kisah kita berarakhir dengan dua kepergian.  Kamu yang lebih dulu dan aku dengan alasan yang aku tuangkan dalam tulisan.

Seperti hujan di bulan Januari yang menambah riuh masalah yang hadir. Mengenalmu membuat aku sendiri bernafas dengan hari – hari yang dipenuhi ragu. Lagi –lagi dengan dua pilihan antara menyambutmu atau menutup pintu.  ah ya,  bahkan sebelum aku  membukakan pintu,kamu lebih dulu meninggalkan sosok aku.

Seperti setelah hujan reda, aku pikir hari –hari setelah kamu pergi aku akan baik- baik saja. Hatiku memang masih seutuhnya berada pada genggamanku. Namun teman –temanmu selalu sukses membuat suasana hatiku tidak baik- baik saja setelahnya. Jika aku boleh melahirkan kata lagi, aku tak akan menuliskan kisah kita tanpa sengaja. Aku selalu menikmatinya . Menikmati setiap keluhan diakhiri perpisahan dengan jarak yang kamu ciptakan.




Share: