Suara Hujan di Bulan Februari
“ Masih tentang kamu dan tentang hujan dengan rekam – rekam jejak setelah Februari berlalu”
Aku tak tahu, dari bagian mana aku harus mengawali ceritaku.
Dengan aku memperkenalkan tokoh – tokoh dalam
cerita ini atau terlebih dahulu memperkenalkan diriku? Sepertinya, Aku
harus mengurungkan niat untuk secara langsung melahirkan kata yang menggambarkan
diriku dari sudut pandang sebagai aku. Aku memberi kebebasan kepada kalian untuk mengambil
kesimpulan tentang diriku seutuhnya.karena memang seperti itu bukan? Meskipun
dalam secarik kertas ini aku telah mendoktrin kalian untuk sepakat bahwa aku
adalah seorang perempuan yang mecintai
kebebasan, kalian tak akan percaya bahwa aku juga menjauhi sempurna.
Aku lebih suka mengawali ceritaku dengan tokoh – tokoh yang
menyenangkan menurutku. Tak banyak, karena aku tidak berinteraksi dengan semua
penduduk bumi ini. Atau mungkin harus aku beri tahu juga bahwa aku bahkan hanya
mengenal segelintir manusia yang namanya sama – sama tercatat di buku besar
milik sekolah kebanggaanku.
Namanya Bumi. Aku tidak sedang bergurau, namanya benar –
benar Bumi. Aku lebih suka mengartikan namanya
sebagai Do’a kebaikan yang menggambarkan betapa pentingnya sebuah kata berbagi
dalam kehidupan. Aku memikirkan makna dari namanya yang menurutku sangat asing
jika kata itu dijadikan nama panggilan bagi seseorang. Bahkan aku mengaitkannya
dengan hal-hal aneh yang mungkin saja bisa menjadi jawaban mengapa orang semenyenangkan dia bernama Bumi.
Dan akhir –akhir ini aku tahu mengapa aku tertarik untuk memikirkannya
berkali -kali. karena dia berbeda.
Klasik? iya, aku mengakuinya. Aku sendiri kadang suka geram ketika sebagian
dari penghuni kelasku lebih memilih menjadi berbeda. Tapi kali ini laki – laki bernama
Bumi itu benar – benar berbeda. Dia
memiliki perawakan yang biasa – biasa saja, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu
memiliki timbunan lemak atau bahkan aku
berani taruhan jika kalian bertemu dengannya, kalian akan sepakat menyebutnya
laki – laki yang imut. Dia memang seperti itu,saat pertemuan pertama
kami,tubuhnya tidak berubah sama kali. Lalu apa yang membuatnya berbeda?
Senyumnya. Senyumnya benar – benar berbeda. Garis lengkung yang tercetak diwajahnya
memiliki magnet tersendiri. Aku bahkan kembali mengingat bagaimana garis
lengkung itu aku terima dari seorang bumi,dan aku kembali tersenyum untuk saat
ini. Aku harap kalian tidak tertarik untuk
bertemu dengannya atau mengajaknya berbicara di waktu yang panjang. Aku tidak
mau memiliki saingan untuk saat ini. Ha ha ha, aku bergurau. Dia seorang
pendiam yang mungkin tidak terlalu memiliki stok kata di dalam faringnya.
Namun mungkin saat ini semesta tengah berbaik hati. Aku
mendapatkan balasan dari beberapa pesan yang coba aku kirimkan kepada Bumi. Dan
aku mendapatkan fakta baru tentangnya, Dia sebuah planet. Maksudku dia bukan
sebuah planet berbentuk bulat pepat yang saat ini menjadi satu – satunya planet
yang dapat dihuni, dia sebuah planet untuk orang – orang lain disekitarnya.
Laki – laki bernama Bumi itu ternyata memiliki sisi yang
sangat menyenangkan. Dia memiliki selera
humor yang lebih berkelas daripada aku. Dia mampu menempatkan dirinya
dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun. Dia menerima semua makhluk hidup yang
ingin berteman dengannya atau mungkin aku berani taruhan jika ada semut yang
mendekatpun, dia akan mengrekrutnya sebagai teman. Itulah sebabnya aku melihatnya sebagai sebuah
planet daripada menyamakannya dengan sebuah bintang. Dia memiliki orang – orang
menyenangkan dalam hidupnya yang selalu ada untuknya. Teman – temannya tidak
mengitari dirinya karena dia bukanlah sebuah bintang dengan gaya gravitasi yang
besar. Bumi dan teman – temannya mengitari sebuah bintang yang cantik. Tentu
saja bukan aku. Bintang itu adalah Ilisha, Ratu Bumi. Dua insan itu memiliki
nama yang dapat melengkapi satu sama lain. Gravitasi yang dimiliki seorang Ilisha mungkin berkali – kalilipat dibandingkan
dengan gravitasi milik planetku. Ah ya,dia adalah sebuah bintang sedangkan aku
hanyalah sebuah planet biasa.
Aku tidak cemburu. Aku hanya mengangumi seorang Bumi tanpa
berharap bahwa dia juga punya kadar kekaguman yang sama untukku. Aku lebih mendukung
Bumi menjadi milik Ratunya,Ilisha daripada menjadi milikku. Aku tidak sedang
berdrama dengan berakting seperti tokoh paling menyedihkan dalam cerita ini. Aku benar – benar mendukungnya. aku yang
mengatur jadwal antara Bumi dan ratunya menghabiskan waktu libur berdua. Aku
yang membelikannya tiket menonton, voucher makan dan sebagai bonusnya aku bisa
belajar bersama Bumi. Seperti simbiosis mutualismekan? Aku sama sekali tidak
merasa dirugikan.
Ilisha adalah perempuan yang sangat cantik. Ia pandai merawat
dirinya dan berdandan sewajarnya. Dia teman baruku setelah aku mengenal Bumi
dan teman – temannya. Dia sangat ramah dengan senyum hangatnya. Sama seperti
Bumi, dia juga teman yang menyenangkan. Hanya saja kisahnya dengan Bumi tidak
bisa kukatakan berjalan lancar. Adikku,Rangga menyukai Ilisha. Aku tidak tahu
apakah Ilisha menyukai adikku juga,hanya saja yang kulihat dari sikapnya,dia
lebih hangat terhadap adikku daripada Bumi. Dan fakta itulah yang membuat aku
dan Bumi memiliki sekat. Dia menjadi berbeda. Dia tetap ramah namun sapaannya
tidak menyenangkan.
“ Aku tahu kamu menyukaiku Ra.” Mataku hampir keluar
mendengarnya.
“Ah,soal itu aku kira kamu gak tahu Mi.”aku hanya
cengengesan.
“ Aku juga tahu adikmu yang bernama Rangga itu menyukai
Ratuku,Ilisha.” Ucapnya dan aku hanya diam
“ Menyerahlah Ran, aku gak mau kamu membenciku karena
ini.aku hanya menyukai Ilisha. berhenti mendukung hubungan adikmu dan ratuku.”ucapnya
dan membuat aku semakin menatapnya heran.
“Bukannya karena ini, kamu yang lebih dulu membenci aku
Bumi? “ aku tersenyum ringan. Menghindar dari segala rintik air agar aku tidak
berteriak kepada Bumi. Lagi pula manusia mana yang ingin disalahkan bukan? Apalagi
untuk menikmati rasa yang robot canggihpun
tak bisa memilikinya.
Dan mulai hari itu aku memutuskan untuk membuat jarak dengan
bumi. Soal adikku,aku tidak sepenuhnya setuju jika Rangga yang pada akhirnya
memiliki hati si ratu bumi. Bahkan,setelah
kepergian ayah,penyebab kami bertengkar adalah karena Ilisha. Ilisha sering
bercerita bahwa aku selalu menjelek –jelekkan dirinya di depan bumi dan itu
membuat adikku marah besar. Ada bagian yang tidak aku mengerti disini. Mengapa Ilisha
melakukan itu pada aku. Atau mungkin Ilisha takut aku merebut Buminya dan
Rangganya.
Aku tidak lagi menyapanya ketika aku dan Bumi berpapasan di
koridor sekolah. Aku mencoba berbenah. Berbenah
dari segala rasa yang pernah muncul atas nama Bumi.
“ Ra..” Bumi memanggil namaku setelah hampir 3 minggu kami
tak bertukar sapa
“ Kenapa?” aku bertanya
“ Kamu punya masalah apa dihidup kamu Ra? Kamu tau aku suka
Ilisha. Berhenti buat dia sakit hati Ra.” Nada suara Bumi meninggi.
“ Maksud kamu apa Mi? Siapa yang buat sakit hati siapa? “ aku
balas menatapnya.
“ Kamu bertanya sama Bumi?” dia mendekat. Seram.
“ Kenapa si Bumi? Semua orang mudah banget menyalahkan orang
lain?” aku membentaknya. Membentak manusia yang menurut aku paling menyenangkan
di planet ini.
Bumi hanya diam. Aku berlari menjauhi planet itu. Planet yang
sepertinya hanya mengecualikan aku untuk menjadi satelitnya. Aku benar – benar kecewa
hari itu. Semesta seperti memberikan dukungan dengan awan – awan kelabu yang
terus saja menurunkan gerimis. Dan aku sendirian. Tidak punya tteman karena
hanya Bumi yang mau menerima aku sebagai teman. Atau harus aku ralat? Bumi yang
dulu sebelum Bumi tahu aku menyukainya.
Apa salahnya sebenarnya jika kita memutuskan menyukai orang
lain tanpa berusaha membuat orang itu memiliki kadar kesukaan yang sama dengan
apa yang kita punya? Jika perasaan aneh ini hanya boleh dinikmati oleh beberapa
orang saja, apa aku dikecualikan? Aku hanya mampu berteriak pada relung yang
tidak mampu didengar seperti suara hujan. Februari yang lalu, hujan selalu
disalahkan. Karena genangan, air bersih hilang, mereka menyalahkan sesuatu yang
sebenarnya sudah lumrah. Sesuatu yang sebenarnya mampu dicegah dan diperbaiki
seperti pertemanan aku dengan Bumi.
0 komentar:
Posting Komentar