Bagian Keenam
“
Dia masih memiliki hak untuk mengenal perempuan lain selain aku. “
Sore
itu ribuan rinai turun menyapa bumi. Membuat beberapa petak tanah di sekolahku
basah dan menahan beberapa siswa pejalan kaki seperti aku agar berdiam diri di
sekolah lebih lama.
Aku
menadahkan tanganku ke atas. Menyapa gerimis yang semakin lama semakin deras.
Jika saja kemarin sore aku melancarkan niatku untuk memberi makan ponselku, mungkin
saat ini aku bisa menelpon adikku agar menjemput. Tapi, itu hanya dapat menjadi
pilihan kedua. Pasalnya adikku yang berusia satu tahun lebih muda dariku tidak
mudah terbujuk untuk untuk keluar rumah dan menjemput kakaknya yang tertahan
hujan.
Lihat,
langit semakin gelap dan sekolah semakin sepi namun rinai itu belum juga
berhenti. Aku menengguk silivaku. Meyakinkan diriku agar siap menerima resiko
ketika aku memilih rencana A. berlari Bersama hujan sampai ke rumah. Memang
tidak ada resiko yang terlalu vatal ketika memilih untuk berlari di bawah
hujan. Hanya saja, aku kurang siap untuk mengeringkan bajuku karena baju ini
masih ku pakai sebagai seragam esok.
Namun,
mau bagaimana lagi? Tak ada pilihan yang lain yang memeiliki resiko lebih
kecil. Mirisnya, diantara deretan siswa yang mengeluarkan payungnya, aku tak
menemukan sosok yang aku kenal untuk berbaik hati agar tubuh kecilku bisa
menggunakan paying itu Bersama.
Ah
iya, Payung. Laki – laki itu. Aku tak menemukan ia hari ini. Aku tak dapat menemukan
ia dimanapun karena aku tak mengetahui nama lengkapnya. Remaja laki – laki yang
aku temui malam itu. Remaja laki – laki yang hanya diam, menatap, mendengus
pelan ketika aku mengajaknya berbicara. Remaja laki – laki yang beberapa hari
lalu membantuku berdiri dan memberiku sebuah jawaban bahwa ia tidak bisu
seperti apa yang aku pikirkan.
Dan
sekarang, aku melihatnya. Di sebelahku. Tepat disebelah kananku.
“
Hai Jea, kamu belum pulang ?” laki – laki itu membuat ku terkejut lagi.
“
aku masih disini itu artinya aku belum pulang.”
“
memangnya kamu sedang apa?”
Tunggu,
dia bertanya aku sedang apa? Ah, tidakkah matanya yang bulat itu tak bisa
mengirimkan saraf di otaknya bahwa aku sedang menunggu hujan?
“
menunggu hujan,” jawab ku singkat.
“
apa yang kamu tunggu dari hujan?” ia kembali bertanya.
Aku
berdecak pelan, mengalihkan pandangan. Tanpa menjawab. Namun, aku takut ia
menganggapku bisu saat itu.
“
menunggu rinainya berhenti jatuh.”
“
kalau begitu kita sama.” Ia hanya tersenyum percaya diri lalu meniru apa yang
aku lakukan. Menadahkan tangan keatas dan menyapa rinai.
“
mau pulang bersamaku Jea? “
Aku
menengok untuk menatapnya lagi. Pertanyaan yang ia lontarkan membuatku kaget.
Apa katanya? Ia mengajakku pulang?
“
memangnya kita searah?”
“
emmm, tidak tahu sih, memangnya dimana rumahmu?” ah, yang benar saja. Dia ini
terlalu lucu.
“
Rumahku di depan perumahan sana. Kamu ingat tempat pertama kali aku mengajakmu
bicara? Ya, di dekat sana. “
“
baiklah, ayo pulang. “
Ia
membentangkan jaketnya untuk menutupi kepalaku dan kepalanya. Dan untuk pertama
kalinya, aku menganggap remaja laki – laki disebelahku ini akan menjadi teman
baruku.
Tak
banyak yang kami bicarakan dalam perjalanan pulang. Setidaknya aku punya teman
bicara dalam perjuanganku menerobos hujan hari ini. Dia lawan bicara yang
menyenangkan. Berbeda sekali dengan remaja laki – laki yang kutemui malam itu.
“
Terima kasih Payung, ini rumahku. Kamu mau masuk?” aku bertanya basa – basi,
lagi pula ibuku yang penyabar itu tak akan mengizinkan laki – laki manapun
untuk mampir.
“
Tidak, ini sudah larut. Aku mau pulang. Rumahku setelah belokan di depan.” Ia
tersenyum, beranjak pergi dan aku membuka pintu.
Aku
tak lekas beranjak dari jendela untuk melihat punggung itu menjauh dari
rumahku. Karena dia, masih berada di depan halamanku. Berbicara dengan seorang
gadis yang satu usia dengan ku. Jeaneva Azzahra. Tetanggaku sekaligus teman
masa kecilku.
Ada
bagian kecil di dalam tubuuhku yang menunjukan bahwa aku tak menyukai
pemandangan itu. Aku menepisnya, Payung bukan siapa – siapa untuk ku. Dia hanya akan menjadi teman baru.
0 komentar:
Posting Komentar