Selasa, 16 Maret 2021

Cerpen " Pertemukan Aku dengan Bukuku "

 Untuk mengingat dirimu, aku menguatkan diri untuk membiarkan jemariku menari di atas papan ketik. Semoga, kamu merasa tidak terbebani jika aku meminta restu kepada semesta agar aku bisa mengingat dirimu lebih sering. 


Apa yang akan kamu lakukan jika kamu kehilangan seseorang? Ah, itu terlalu berat. Mari kita ganti pertanyaannya. Apa yang akan kamu lakukan jika kamu kehilangan sebuah barang? Bagaimana perasaanmu jika barang itu tidak kunjung ditemukan oleh netramu?. Aku tahu, sulit untuk mendeskripsikannya bukan?. Aku pun, demikian. Aku pernah memaksakan diriku untuk mengingat setiap inci ruangan dimana aku meninggalkan barangku. Bahkan, aku berusaha menjelajahi waktu meskipun pada akhirnya, aku tetap tidak bisa mengingat dengan utuh. Aku tidak dapat menemukannya dengan mengingat sesuatu yang bahkan tidak pernah aku pikirkan bahwa aku harus mengingat setiap detailnya. Menyebalkan bukan? 

Ah iya, kita belum berkenalan. Namaku Mystiko Wijaya. Kamu bisa memanggilku Mystiko. Sebenarnya aku memperbolehkan kamu untuk memanggilku apapun. Namun, izinkan aku memberi saran agar kamu tidak memanggilku Miss, kamu mau tahu alasannya? Ah ayolah, aku ingin tertawa jika menyebutkannya sekarang. Miss hanya menjadi milik Misiena. Sahabatku si putri kepala sekolah. Sebenarnya jika aku pikir – pikir aku tidak dapat menemukan korelasi kasus mengapa aku dapat terhubung dan berteman dengan Misiena, si putri kepala sekolah yang selalu menjadi buah bibir anak – anak sekolah. Bagaimana tidak? Dia perempuan dengan tubuh proporsional, sangat cantik bahkan untuk memenuhi standarisasi kecantikan dan tentunya dia pintar. Jika aku membuat sebuah perbandingan antara aku dengan dirinya, aku hanya memiliki 1 % dari kesempurnaan dirinya. Apakah itu terlalu berlebihan?. Aku rasa tidak jika kamu benar – benar mengenal Misiena. 

Lalu bagaimana dengan aku?. Kamu salah jika kamu menganggap aku adalah tokoh utama yang isimewa. Ayolah, sebagai seorang perempuan berusia 17 tahun, aku tidak ingin disandingkan dengan perempuan berusia sebaya yang sudah punya ribuan pencapaian luar biasa. Jika kamu berjalan – jalan di koridur kelas 11 MIPA dan kamu melewati ruang kelas 11 MIPA 1, kamu akan melihat aku yang sedang mengarsir buku pelajaran meskipun diwaktu istirahat. Kamu tahu? Aku tidak punya banyak teman untuk mengisi waktuku dengan membuat kenangan yang bisa aku nikmati ketika aku sudah dinyatakan lulus dari sekolah ini. 

Berbicara tentang kenangan, bagaimana rasanya memiliki kenangan yang setiap saat mampu kamu selami dimanapun kamu ingin? Apakah menyenangkan jika kamu dapat dengan bebas memilih kenangan mana yang akan kamu ingat – ingat ataukah kamu merasa terbebani jika kenangan buruk yang ingin kamu lupakan justru hadir menyapamu setiap hari? Aku ingin tahu rasanya mengingat seseorang dengan kenangan – kenangan manis didalamnya. Jika hal tersebut diperjual belikan di dunia ini, aku akan menjadi pelanggan pertama dan namaku akan tertera pada daftar pelanggan tetap. 

Jadi, aku sedang merindukan dirimu. Izinkan aku mengingat semampuku.


Hari itu, tanggal 16 Maret 2020. Hari pertama dalam 17 tahun nafasku. Aku merasa bahagia. Bahagia sekali karena hari itu aku mendapatkan banyak ucapan baik. Aku sangat bahagia sampai – sampai aku menyapa setiap manusia yang aku temui di jalan. Aku menyapa Bi Enah, tetangga depan rumahku yang sedang menyapu halaman. Aku menyapa Mas Tejo yang sedang asyik mencuci motor dan memutar lagu dangdut kesukaannya. Aku menyapa dan mengelus gemas kepala Kimy, kucing Bi Enah yang gembul. Aku bahkan menyapa bunga – bunga mawar yang sedang sibuk bermekaran menyapa indahnya pagi. Aku bersenandung ria selama perjalanan menuju ke sekolah. Rasanya, pagi di hari itu aku bahagia sekali meskipun aku harus mengikuti upacara. Rasanya, indah dapat melanjutkan nafasku di tahun ke 17.


“ Hei Mystiko!” Misiena menepuk bahuku. 

“ Berhentilah membuat aku terkejut Siena, kamu selalu mengejutkan aku tiap hari.” Aku menggerutu.

“ Hihihi” dia tertawa dengan polosnya dan memberiku sebuah buku. 

“ Apa ini?.“ Tanyaku sambil melihat – lihat detail sampul buku yang nampak asing. 

“ Hadiah ulang tahunmu. Ayolah hanya aku yang akan memberimu sebuah buku meskipun aku tahu kamu sangat membencinya bukan? Hahaha” 

Aku tersenyum kesal. Memang, hanya Misiena yang mampu membuatku tersenyum meski sedang merasa kesal. 

“ Ah, jangan dibuka sekarang !” Misiena menghentikan jemariku. 

“ Ayo kita ke kantin Mystiko, aku sangat lapar “ Misiena menarik tanganku dan aku meletakkan buku itu sembarang di atas meja. 

“ Kamu mau memesan apa Mystiko?." tanya Misiena 

“ Aku mau pesan batagor kuah. “ ucapku

“ Baiklah, aku akan pergi kesana untuk membeli kupat tahu. Kamu yang bayar kan ?” Misiena tertawa jahil dan akupun berjalan menuju kedai Mamah yang sudah nampak ramai. 


Jika di muka bumi ini manusia diberi kemampuan untuk dapat melihat kejadian yang akan terjadi di masa depan, aku akan menghentikan langkah Misiena yang menjauh dariku atau aku akan mengikuti Misiena dan menggenggam jemarinya. Mengaitkan lengannya ke bahuku seperti yang selalu ia lakukan. Aku akan melakukan apapun agar kami tidak saling berjauhan. Namun aku tidak dapat melakukannya karena aku tidak memiliki kemampuan itu. 

“ Makan disini ya Mystiko ! “. Misiena berseru setelah mendapatkan meja kosong sementara aku masih menunggu Mamah membuatkan pesananku. 

Seketika, dalam riuh suasana kantin yang ramai, alarm kebakaran berbunyi. Membuat seisi kantin semakin riuh dengan kepanikan. Beberapa siswa bahkan dengan tergesa – gesa menyelamatkan diri. Kantin sekolah yang berada di lantai dua, menjadikan tangga darurat terdekat dipenuhi anak – anak. Aku panik. Aku tidak bisa bernafas ditengah – tengah desakan anak – anak yang berlari. Mataku tidak dapat menemukan Misiena. Aku bahkan kehilangan kemampuan untuk berteriak. Aku benar – benar cemas. Aku putus asa ketika tidak dapat menemukan dirinya. Aku hampir menangis kesal ketika alarm terus berdering dan kondisi semakin berisik. Ditengah – tengah kepanikan, aku melihat Misiena dengan isyarat tangan yang menyuruhku untuk pergi lebih dulu. Aku menggelang dan mengerahkan kemampuanku untuk melawan arus. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meraih tangannya meskipun tak kunjung sampai. Aku menggerutu geram sampai – sampai aku tidak mendengar anak – anak yang meneriakiku agar aku menghindar. Terlambat, kepalaku terkena patahan meja kayu yang terjatuh dari lantai tiga. Aku meringis, duniaku gelap seketika. 

Hal pertama yang aku rasakan ketika membuka mata adalah banyak sekali cahaya yang berusaha masuk memenuhi netraku. Aku mengedipkan mata perlahan. Melirik seisi ruangan bernuansa putih yang sangat asing bagiku. 

“ Kamu sudah sadar Mystiko?” Ibuku mendekat 

“ Bu, kenapa aku ada disini?” aku bertanya lemas

“ kemarin lusa sekolahmu mengalami kebakaran hebat. Setengah gedung habis terbakar. Apa kamu tidak ingat ?”. Ibuku bertanya.

Aku menggeleng lemah. Aku tidak mengingat hari yang diceritakan ibu. Ada apa denganku?Ibuku mengeluarkn air mata dan menggenggam tanganku dengan gemetar. Ibu membuatku heran. 

“ Kamu akan sehat dan baik – baik saja Mystiko. Ibu janji. Kamu akan baik – baik saja. “ Ucap ibu.

Akhirnya, aku bisa pulang setelah sabar mengikuti serangkaian perawatan. Ibu bilang, itu harus aku lakukan agar amnesia sementaraku tidak semakin parah. Katanya, kepalaku terkena patahan meja kayu ketika aku berusaha menyelamatkan diri. Namun ibu tidak bicara mengapa aku bisa berada disana. Dokter bilang, aku akan mendapatlan setiap potongan peristiwa jika aku dapat menjalankan perawatan dengan baik. Esoknya, ibumemperkenankan aku untuk pergi ke sekolah. Karena kebakaran hebat yang melahap setengahnya sekolah, pembelajaran tatak muka dilakukan persesi sesuai angkatan. Dan pekan ini adalah bagian untuk kelas 11. Aku masih dapat mengenali lingkungan sekolahku Meskipun aku tidak dapat mengingat apa yang terjadi hari itu. Ibu tidak banyak menceritakan isi sekolahkun ketika aku di rumah sakit. Pagi tadi ibu bilang bahwa mungkin saja banyak yang hilang dari sekolahku dan aku tidak memperdulikan hal itu.

Pintugerbangsekolah yang dulu megah kini memiliki goretan hitam sisa kebakaran. Miris, keadaan sekolah ini seperti bangunan tua yang tidak pernah direnovasi. Orang - orang memandangiku sambil berbisik - bisik. Aku hanya mampu mengernyit heran sambil terus berjalan dan mencari ruang kelas bertuliskan 11 MIPA 1. Ketika aku sampai di bibir pintu kelas, bel masuk pertanda jam pelajaran pertama akan dimulai berbunyi. Aku bergegas mencari kursih kosong dan mengeluarkan beberapa buku. Aku menemukan nama yang tidak begitu asing bagiku. Pada halaman pertama, aku menemukan kata Misiena Bramanto. Aku menimbang sejenak. Kemungkinan besar pemilik buku ini adalah temanku. Pandanganku menyusuri setiap kursi yang sudah terisi. Berharap bahwa aku dapat menemukan seseorang dengan bordir nama Miseana di bajunya. Namun nihil. Aku tidak menemukan nya .

" Maaf, ada yang namanya Misiena? " Aku bertanya lantang sambil mengangkat sebuah buku. Seisi kelas diam sesaat dan berbisik - bisik lagi. Tidak ada yang mengaku. Aku menurunkan tanganku dan memasukkan buku itu ke laci meja, mungkin saja pemilik buku ini akan mencariku dan mengambil bukunya. Itu yang akan dilakukan oleh seseorang yang kehilangan bukunya bukan? 

" Permisi, saya mau memanggil Mystiko. Apakah dia sudah hadir?."Anak laki - laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya mengetuk pintu dan menjadi pusat perhatian setelahnya.

Akumengangkat tangan 

"Mystiko bisa ikut saya ke ruangan kepalasekolah?." Tanyanya.Tanpapikir panjang, aku berdiri.Mengikuti langkahnya.

"Bagaimana kabarmu Mystiko?."Dia bertanya.

"Aku baik, " ucapku sambil mengimbangi langkahnya.

" Ah, tidak adil. Bagaimana bisa hidup harus memilih satu diantara kalian yang diselamatkan"gumamnya. Membuat aku berhenti. Hendak bertanya maksud ucapan kecilnya yang mampu aku dengar.

"Silahkan masuk Mystiko," lagi - lagi dia berucap dan tidak memberiku kesempatan untuk bertanya. 

Hal pertama yang aku rasakan ketika msuk ke ruangan kepala sekolah adalah aura kesedihan. Ibuku bilang, sekolahku adalah sekolah termegah dengan prestasi yang luar biasa namun sekarang semuanya hampir punah karena kebakaran. Papan nama bertuliskan Bramanto menjadi benda paling menyita perhatian ku. Sebelum aku berpikir lebih jauh, seorang laki - laki dengan jas hitam menghampiri ku.

" Selamat pagi Mystiko, bagaimana kabarmu?"Laki - laki yang aku duga adalah kepala sekolah bertanya.

"Saya baik pa."Jawabku.

"Pihak rumah sakit bilang, kamu sudah banyak mendapatkan perawatan. Apakah kamu benar tidak mengingat apapun tentang hari itu Mystiko? ". Tanyanya.Akumengangguk kecil.Aku memang tidak mengingat apapun.

" Ah, sayang sekali. Kamu bahkan tidak mengingat Miseana?". Mendengar pertanyaan itu membuat alisku bertaut. Nama itu lagi.

"Biar kuberi tahu."Dia berdiri dan menuju sebuah meja yang terdapat pigura foto perempuan.

"Kamu dengan dia adalah teman Mistyko. Putriku, Misiena Bramanto adalah korban kebakaran hari itu. " Dia menjeda ucapannya. Aku lemas.Otakku berusaha mencerna setiap perkataannya dan mencari ingatan tentang siapa Misiena sebenarnya.

"Apakah kamu benar - benar tidak tahu apapun tentang hari itu?". Pak Bram bertanya dan Aku diam, masih berusaha mencari ingatan.

"Teman kelasmu bilang bahwa, sebelum kebakaran itu kamu dengan Misiena pergi ke kantin. Kamu meninggalkan dia saat alarm berbunyi. " Ucapnya dengan penekanan pada kata meninggalkan sedangkan Akumasih diam. Aku putus asa ketika memaksa diriku menemukan ingatan.

"Jawab Mystiko! Kenapa kamu meninggalkan putri saya?! Kamu berjanji akan menjaga dia! Kamu berjanji kepada saya bahwa kamu akan menjadi teman yang baik untuknya!". Pak Bram menggertak. Nafasnya naik turun. Aku bisa merasakan kesedihan dari setiap kata - katanya.Jantungkuberpacu cepat. Keringat mengalir di pelipisku. Bagaimana aku dapat menjawab sedangkan aku tidak dapat menemukan ingatan aku tentang hari itu.

"Maaf Mistyko. Kamu saya pindahkan ke sekolah lain"ucapnya.Aku mendongkak. Menatap matanya yang memerah. Memasang wajah tidak terima.

"Apa kesalahan saya pa?"Aku memberanikan diri bertanya.

"Semua orang di sekolah ini tahu bahwa kamu secara tidak langsung telah membiarkan temanmu menjadi korban kebakaran. Saya cukup berduka telah kehilangan putri saya satu - satunya. Namun, saya tidak bisa membiarkan kamu tidak hidup nyaman disekolah ini. Misiena sangat mengkhawatirkan kamu jika kamu sendirian di sekolah seperti ini. Dan saya berusaha mengerti keinginan putri saya. " Ucapnyamembelakangiku. Lagi – lagi aku hanya bisa membisu.Akumerasa amat disayangi oleh seseorang bernama Misiena.

"Saya mau sekolah disini pa. Saya akan buktikan ke anak - anak lain, bahwa hari itu saya tidak meninggalkan Misiena. Saya akan mencari tahu, mengapa hari itu kebakaran hebat bisa terjadi di sekolah ini. Saya permisi"

Akumenutuppintu dan menghirup banyak - banyak oksigen diluar ruangan. Perasaan ku sangat tidak beraturan. Aku tidak mengerti mengapa Miseana dapat menjadi korban dalam kebakaran hari itu. Aku berjalan ke ruang UKS untuk menenangkan diri. Kepalaku terasa nyeri ketika aku memaksakan otakku mengingat apa yang telah terjadi. Aku berhenti untuk melihat kantin yang hangus terbakar yang menyisakan abu dari potongan kayu - kayu.

"Misiena terjebak disini."Ucap seseorang yang mengagetkan ku. Membuat aku menoleh kearahnya.

"Ada berapa korban dari kebakaran kemarin?" Aku bertanya

" Satu. Hanya Misiena"ucapnya

"Bisa bantu aku?"Aku menoleh kearah anak laki - laki itu.

"Bisa bantu aku Gevan?"Aku bertanya lagi setelah menemukan namanya di bajunya. Setelah diam beberapa menit, dia mengangguk.

Disinilahkami sekarang, di ruang UKS tempat tujuan pertamaku setelah melihat kantin yang terbakar itu.

"Bisakamu ceritakan van, apa yang terjadi hari itu?"Aku memulai percakapan.

"Hari itu, aku tidak tahu banyak. Yang aku ingat, alarm kebakaran berbunyi ketika jam istirahat. Teman - teman ku bilang bahwa api pertama kali ditemukan di ujung kantin. Tempat Misena memesan makanan. Tapi teman - temanku juga bilang bahwa mereka melihat api dari laboratorium di lantai tiga. Setelah itu, anak - anak panik berlarian. Aku pun menyelamatkan diri dan ceritanya berhenti disana." Jelasnya. Aku berpikir sejenak. Dari ceritanya, aku hanya memiliki kesimpulan bahwa api berasal dari dua titik. Kedua tempat itu memilki kemungkinan yang cukup besar sebagai tempat awal mula api berasal. Namun, pikiranku masih janggal. Bagaimana bisa kebakaran hebat yang menghabiskan setengah bangunan sekolah megah ini hanya memiliki satu korban jiwa ? Dan itu sahabatku, Misiena. Ah lebih tepatnya, putri kepala sekolah. 

“ Van, bagaimana caranya mengingat seseorang? Maksudku, aku ingin mengingat Miseana sekarang. “ Aku akhirnya berucap sendu.

“ Miseana suka menulis. Mungkin saja Miseana meninggalkan sebuah buku berharga miliknya yang ia titipkan kepadamu?” jawab Gevan.

Aku menimbang sejenak. Aku teringat dengan sebuah buku yang aku temui dalam ranselku tadi pagi. Aku bergegas setengah berlari membuka pintu. Jantungku berdebar. Berharap bahwa, buku itu dapat mempertemukan aku dengan kenyataan sebenarnya. Aku menggeledah laci mejaku. Nafasku gusar. Aku membuka buku yang aku temukan. Aku menggeram kesal. Buku ini tidak berisi apapun selain catatan rumus matematika milik Miseana. Gevan ternyata mengikuti langkahku. Tubuhku benar – benar lemas. Air mataku merembas ketika aku menemukan namaku di halaman belakang buku itu. 

“ Sahabat cantikku, Mystiko” lirihku. Kepalaku terasa nyeri dan telingaku terasa berdengung. Aku memejamkan mata. Bayangan seorang perempuan yang sedang tertawa menyambutku. Perempuan yang cantik. Aku tersadar. Aku mengingat Misiena sekarang. 

Sebelum aku larut dalam potongan memori menyenangkan bersama Miseana, Gevan menarik tanganku. 

“ Ikut aku. “ ucapnya dan lagi – lagi, aku mengikutinya.Gevan membawaku kesebuah tempat berisi ribuan loker yang berjajar memenuhi isi ruangan. Mataku terdistraksi oleh sebuah loker yang hampir hangus. Nama Misiena Bramanto tertulis disana. Jemariku mencoba membersihkan sisa – sisa abu yang menggangu. 

“ Kamu lihat? Hanya loker milik Misiena yang hampir terbakar disini. Seseorang sengaja membakarnya.” Ucap Gevan

“ Kamu benar, Misiena menyembunyikan sesuatu yang terkait peristiwa kebakaran hari itu. “ aku bergumam. Lututku lemas. Aku memukul – mukul kepalaku dengan geram. 

“ kenapa kamu tidak ingat apapun Mystiko!” aku mengacak – ngacak rambutku kesal. Gevan menghentikan tanganku. Aku terjatuh. Menangis lemas. 

“ Coba ingat lagi Mystiko. Hari itu, apa Misiena memberimu sebuah benda?” Gevan berusaha menenangkan aku. Aku menggeleng. Air mataku merembas membasahi dasiku. Mengapa aku tidak mengingat apapun? Mengapa aku tidak mengingat apa yang terjadi hari itu? Misiena suka menulis. Gevan bilang bahwa Misiena akan lebih percaya dengan sebuah buku daripada seorang manusia. Namun aku membenci buku. Aku tidak membaca ataupun menulis. Dan apakah Misiena memberiku sebuah buku?

Aku ingat sekarang. Di hari ulang tahunku, Misiena memberiku sebuah buku.

“ Gevan, bisa antar aku ke ruang kelas 11 MIPA 1 yang dulu?” tanyaku.

Sial. Umpatku. Ruang kelas ini sudah mendekat kedalam kategori gudang baru. Meja – meja dan kursih berserakan. Aku tidak bisa mengenali mejaku. 

“ Misiena memberiku sebuah buku. “ ucapku. Gevan mengerti. Ia ikut menggeser meja dan membuka setiap laci. Namun nihil. Aku sudah menggeledah dua keliling namun aku tidak menemukan apapun. Begitupla dengan Gevan. Lagi – lagi perasaanku berkecamuk. Aku membenci diriku. Membeci diriku yang tidak bisa mengingat apapun. Dimana aku meletakkan buku itu? Ruang kelas ini tidak terbakar. Tapi mengapa ruang kelas ini sangat berantakan? Pertanyaan - pertanyaan menyesakkan muncul di kepalaku dengan tiba - tiba. Membuat aku meringis. Kepalaku nyeri luar biasa. Aku mencari sandaran dan kursih. Gevan menghampiriku. 

"Kamu tidak apa - apa Mystiko?" Gevan bertanya sambil memegang bahuku. Aku menggeleng. 

" Kalian mencari buku ini?" Seseorang berdiri di bibir pintu sambil mengangkat sebuah buku. 

" Kalian sia - sia jika mencari buku itu. Tidak ada apa - apa disana ". Orang itu melempar bukunya kelantai. Terjerembab. Aku bergegas mengambil buku itu. Aku menatap Gevan.sepertinya aku dan dia memiliki pertanyaan yang sama.

" Kebakaran hari itu adalah kecelakaan. Berhenti sampai disini. Jangan menyelidiki apapun jika salah satu dari kalian rela mengorbankan satu yang lain" orang itu berbalik pergi. Aku menahan tangan Gevan yang hendak mengejar. Orang itu berbahaya. Aku membersihkan buku yang aku yakini milik Misiena. Aku membuka buku itu. Halaman awal tidak tertulis apapun disana selain gambaran abstrak. Sepertinya Misiena juga senang menggambar. Sampai ke halaman tengah, orang itu benar. Tidak ada petunjuk apapun disini. Namun satu lembar kertas dalam buku ini telah dirobek. 

" Astaga, mengapa tidak apapun disini?" Aku menggerutu. Gevan mengambil buku itu dariku. Dia lebih teliti memeriksa setiap lembar dalam buku itu. 

" Aku yakin Gevan, orang itu yang merobek lembar berharga disini!" Aku berseru kesal.

" Tidak Mystiko. Coba lihat. Miseana menuliskan sebuah sandi disini. Rangkaian huruf yang unik. Aku yakin ini sebuah sandi" ucap Gevan. Aku memperhatikan kombinasi angka yang dimaksud oleh Gevan. 

" Apa kamu ingat Mystiko? Apa kamu pernah membuat sebuah kombinasi huruf sebagai sandi rahasia kalian?" Tanya gevan. Aku mengacak - ngacak rambutku dan berdiri.

" Kenapa pertanyaannya selalu ingat?! Ingat?! Aku tidak bisa mengingatnya Gevan! Aku tidak tahu jawabannya! Aku tidak tahu!" Mataku memerah setelah mengeluarkan nada tinggi. Gevan ikut berdiri dan menyentuh bahuku. 

" Tenanglah Mystiko, "

" Bagaimana aku bisa tenang Gevan! Bagaimana aku bisa tenang! Misiena sangat menyayangi aku! Bagaimana aku bisa tenang jika dia pergi dan aku tidak mampu mengingat apapun?!" Aku berteriak lirih. Aku benar - benar lelah. 

" Mystiko lihat aku!" Gevan mengangkat wajahku

" Kamu hanya harus percaya bahwa kamu bisa mengingat apapun! Kamu harus percaya sama diri kamu! Miseana bahkan udah percaya sama kamu! Kamu juga harus percaya sama diri kamu sendiri Mystiko!" Lanjut Gevan. Tangisku pecah. Bahuku bergetar. Aku sangat bodoh bahkan hanya untuk mengingat apa yang terjadi.

        Gevan bilang, bisa saja aku menulis kunci kombinasi huruf itu di dalam sebuah buku atau sebuah tempat dimana aku dan Miseana sering menghabiskan waktu bersama. Aku menggeladah lemari buku. Bisa saja aku menulisnya di buku harian hadiah ulang tahunku yang ke - 16. Dugaan ku tepat sekali. Aku menemukan kunci kombinasi. Aku menelepon Gevan dengan segera. Aku dan Gevan sepakat jika aku menemukan sandi itu, kami akan bertemu di taman perumahan. Aku melambaikan tangan ketika retinaku menangkap bayangan Gevan. Gevan berlari kecil. Kami membuka buku yang dibawa Gevan dan mencocokkan nya dengan sandi yang aku temukan. 

" Email tanggal 15" aku mengucapkannya bersamaan dengan Gevan. Aku menatap Gevan sesaat sebelum membuka ponselku. Mencari pesan yang masuk pada tanggal 15 lalu. Mataku berbinar. Email atas nama Misiena Bramanto yang belum aku buka. Aku menekan layar bilah pesan. Membacanya perlahan.

Mystiko, akhirnya kamu menemukan aku. Kamu hebat sekali. Bahkan ketika kamu tidak mampu mengingat apapun, kamu tetap dapat menemukan aku. Maaf tidak mengatakan ini padamu secara langsung. Katakan saja, jika aku sudah pergi. Katakan kepada ayahku bahwa jangan pernah percaya dengan kolega bisnisnya, Pa Reka. Aku mendengarnya malam itu saat pergi mencari hadiah ulang tahun untukmu. Pa Reka ingin menghancurkan sekolah yang dibangun kakekku dengan membakarnya. Awalnya, dia tidak menargetkan adanya korban jiwa, namun setelah aku ketahuan mendengar percakapannya, aku sepertinya akan menjadi korban. Katakan pada ayahku bahwa aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa menemui ayahku malam itu dan mengatakan ini kepadanya. Aku mohon bantunmu Mystiko.

Air mataku menetes lagi. Untuk sesaat aku membiarkan ingatan ku kembali sedikit demi sedikit. Mereka memperlihatkan kepadaku wajah Misiena yang terjebak di bangku kantin. Aku menelengkup wajahku.

" Kita tidak punya banyak waktu Mystiko. Ayo kita temui Pa Bram," Gevan menarik tanganku.

Kami berlari sekencang mungkin agar sampai tepat waktu namun kami terlambat. Pa Bram telah tiada. Garis polisi mengelilingi rumah bernuansa putih. Tetangga sekitar rumah asik berbisik bahwa mereka mendengar suara tembakan yang berasal dari dalam rumah. Pa Reka yang bajunya terkena cipratan darah digiring polisi. Lutut ku goyah. Aku terlambat lagi. Andaikan aku mengingat nya lebih awal. Andaikan aku mengingat semuanya. Semuanya tidak akan seperti ini. Gevan menepuk bahuku yang gemetar. Aku tidak ingin melakukan apapun sekarang. Hatiku berduka. Hatiku benar - benar hancur. 

" Mari kita pulang Mystiko. Semuanya sudah pulang" ucap Gevan. Aku terdiam di depan makam Misiena. Air mataku kering. Aku bahkan kehilangan tenaga untuk menangis lagi. 

" Mengertilah Mystiko, hidup selalu menuntut kita untuk selalu bangun setelah jatuh dan belajar dari pengalaman yang lampau, namun hidup tidak pernah mengajarkan kepada kita caranya. Caranya untuk bangkit dan mengingat." Gevan menepuk bahuku. Aku menatapnya dan menatap batu bertuliskan Misiena.

Kamu benar, hidup tidak pernah mengajarkan kepada kita caranya mengingat. 








Share:

0 komentar:

Posting Komentar