Tidak
Apa
Aku
harap, hanya aku diantara jutaan ribu manusia penghuni planet ini yang merasakan ini.
Aku harap hanya aku yang dengan mudahnya dipermainkan oleh garis – garis
semesta. Kamu? Jangan. Aku harap hanya aku. Limpahkan semuanya kepadaku jika semesta
menargetkan beberapa orang untuk mengalami hal serupa seperti aku. Karena
rasanya sakit. Sakit ketika setiap sesak lahir dan teranggap sebagai isak.
Aku
mengatur nafasku yang mulai terdengar gusar. Memainkan pilinan tanganku yang
sekarang basah oleh keringat. Sebentar lagi, setelah murid perempuan di depan
kelas ini menamatkan ceritanya. Aku akan dipanggil dan menggantikan posisi
murid itu. Aku sudah memikirkannya semalaman. Aku membaca judul ceritaku sekali
lagi. Memastikan bahwa aku siap dengan segala kemungkinan. Riuh tepuk tangan
dari penghuni kelas menambah degupan jantungku berpacu lebih cepat. Aku
memutuskun untuk meminum beberapa teguk air sebelum aku membacakan ceritaku di
depan kelas.
“ Adera Mahesya” Guru
Bahasa Indonesia itu memanggil namaku.
Aku
berdiri sambil membawa hasil tulisanku untuk dibacakan di hadapan seisi
penghuni kelas. aku menatap semuanya satu persatu sebelum mulai bersuara. Aku
menghela nafas, meyakinkan sekali lagi dan aku mulai membaca.
“ Namaku Adera Mahesya.
Kalian mungkin sudah tak asing lagi mendengar nama itu. Bagaimana tak asing
bukan? Hanya nama itu yang selalu terlewat saat pembagian kelompok belajar.”
Aku berhenti ketika kelas mulai hening meskipun mayoritas dari mereka masih
bersikap tak peduli.
“ aku hanya anak
perempuan yang bahkan jauh dari kata luar biasa. Jangankan luar biasa, kata
biasapun sepertinya takkan pantas untuk aku yang sering kali di panggil Dera,
si sampah dari kelas Ipa tiga.” Aku tersenyum. Pak guru memberi isyarat untuk
melanjutkan ceritaku.
“ Aku tidak terdaftar
sebagai anak baru di sekolah ini. Aku
sama seperti kalian. Aku mengikuti masa
orientasi selama 3 hari. Tapi, aku lebih merasa sebagai anak hantu di kelas ini.
Iya bukan? Absenku berada di posisi ke dua setelah Abisya. Tapi setiap pembagian
kelompok belajar menurut absen, aku selalu masuk kelompok terakhir sebagai anak
bawang. Selama hampir satu semester ini aku duduk di kursih paling terisolasi.
Tubuhku yang kecil seringkali dijadikan alasan jika Pa guru olahraga kita
bertanya mengapa aku tidak masuk pada satu kelompok praktekpun. Kalian selalu
berargumen bahwa aku tak terlihat. Tak apa, aku memaklumi itu. “ aku berhenti
untuk mengatur nafas dan melihat kondisi seisi kelas.
“ Tak apa, aku mengizinkan kalian untuk tertidur
dari pada mendengarkan ceritaku. Lagi pula, aku sudah biasa untuk berbicara
tapi tidak untuk didengarkan.” Aku menjeda ceritaku. Aku tersenyum. Semua mata
tertuju padaku.
“ Aku jadi ingat ketika
beberapa hari kemarin guru sejarah kita membuka sesi perdebatan dalam
presentasi power point. Aku memberanikan diri untuk berbicara. Aku pikir,
karena selama ini aku lebih sering diam maka aku terisolasi dari kelas ini. Dan
hal menakjubkan hadir sebagai hadiah atas suaraku. Pemimpin kelas kita sendiri
yang meyakinkan murid laki – laki di kelas ini. jika aku adalah perempuan yang
selalu ingin benar. Bahkan temanku pun, tak mengelak akan hal itu. “ aku
menunduk.
“ Sekali lagi tak apa
karena aku memang tidak bisa apa – apa. Sampai saat ini, aku tak tahu mengapa aku dianggap sampah di ruangan ini. Bahkan jika aku melapor pada ayahku,
beliau tak mungkin memanggil kalian satu kelas masuk ruang Bk. Ah iya, aku lupa
mengenalkannya. Seharusnya kalian mengenal baik beliau di banding kalian
mengenal anaknya yang bahkan berada di ruangan yang sama dengan kalian. Beliau
adalah seorang kepala sekolah yang logo sekolahnya tertempel rapih pada baju
seragam kalian. “ Seisi kelas mulai riuh. Di antara mereka mulai membisik –
bisik.
“ Aku kira, kalian
mungkin akan mengetahui hal ini jika kalian menyisihkan waktu kalian untuk
hadir di acara ulang tahunkku kemarin lusa. Kalian tahu? Aku bahkan meminta
kepada ayahku bahwa hanya teman – teman sekelasku yang boleh hadir pada acara
itu. Dan nyatanya, aku mendapat hadiah paling istimewa dalam sejarah hidupku.
Tak ada satu orangpun yang hadir dalam acara di rumahku itu. Tak apa, aku tetap
bersyukur punya teman – teman menakjubkan seperti kalian. “ Aku berusaha mengulas senyum.
“ Sekali lagi, tak apa.
Aku memaklumi itu. Hanya saja, di sisa akhir semester ini, aku menuliskan
cerita ini untuk orang – orang yang memiliki teman sekelas seperti aku. Aku tak
pernah meminta agar aku bisa satu kelas dengan kalian. Kelas sepuluh ipa tiga.
Kelas yang terasa dihuni oleh 33 orang dan bukan 34. Kelas yang selalu
melewatkan nama Adera Mahesya pada saat pembagian kelompok belajar. Kelas yang
dalam imajinasiku adalah kelas yang sangat sempurna. Karena hanya kelas ini
yang mau menerima aku. “ mataku mulai berair. Aku menarik nafas dan melanjutkan
ceritaku.
“ Terlahir sebagai anak
dari kepala sekolah tidak membuat aku baik – baik saja. Aku menghabiskan masa
kecilku di dalam rumah. Tidak bermain pasir di luar ataupun bersepedah
mengelilingi perumahan dengan anak – anak sebaya. Kalian tahu? Satu – satunya
temanku pada saat itu lebih suka menarik rambutku daripada menarik tanganku
untuk bermain. “ aku menyeka air di sudut mataku. Mengingatnya, membuat tubuhku
gemetar.
“ Dunia sekolah dasarku
juga tak begitu menyenangkan. Setiap pulang sekolah, seragam yang aku pakai
selalu kotor. Jika bukan karena ulah anak laki – laki di kelasku yang
menjadikan seragamku lap tangan, aku harus menyendiri seharian di sekolah itu
karena anak – anak perempuan tak pernah ada yang mau untuk mengajakku
berbicara, mereka terlalu takut jika nanti mereka mengalami hal yang sama jika
berteman denganku. “ Aku berusaha mengatur diriku agar tetap tenang.
“ Lain lagi dengan dunia
menengah pertamaku. Aku satu sekolah dengan sepupuku. Namun, itu tak menjadikan
aku aman sepenuhnya. Setiap hari aku harus memberikan uang saku milikku kepada
tiga sekawan yang menjaga di depan pintu kelas. aku tak bisa masuk kelas dengan
aman jika aku tak memberi uang yang mereka minta. Di antara ratusan murid
sekolah itu, hanya ada satu orang yang mau membantuku. Namanya Andi. Dia
membantuku untuk melawan tiga sekawan itu. Dia juga melaporkan hal yang aku
alami kepada guru BK. Dan akhirnya, aku kehilangannya karena sebuah kecelakaan.
Rumor tak menyenangkanpun lahir setelah itu. Aku lagi – lagi dijauhi seluruh
penghuni kelas karena mereka pikir, aku adalah anak pembawa sial.” Mataku
berair lagi. Aku menarik nafas dan mendapati seluruh raut wajah menatapku
dengan tatapan sulit diartikan.
“ Akhirnya aku memutuskan
untuk pindah ke Jakarta. Dan aku berada di tengah – tengah kalian. Aku selalu
berimajinasi jika tiga tahun terakhirku akan baik – baik saja disini. Nyatanya
tidak seperti itu. Tapi tak juga seburuk yang lalu. Tidak ada teman satu perumahan
yang menarik – narik rambutku. Tidak ada anak laki – laki dalam kelas ini yang
menjadikan seragamku lap tangan. Tak ada tiga sekawan yang menagih uang saku
milikku di bibir pintu kelas. meskipun aku menerima perlakuan yang berbeda dan
lebih sering dianggap tidak ada. “ Aku tersenyum.
“ Pada bagian akhir ceritaku, aku
minta maaf jika kehadirankku hanya menambah sesak ruang kelas ini. Aku juga minta
maaf jika aku lebih sering menenggelamkan wajah di meja daripada ikut mengisi
jam kosong Bersama kalian. Maaf jika kalian harus berebut oksigen dengan aku di
ruang ini. Aku …” aku tak mampu menahan
suaraku agar tak gemetar.
“ Aku minta maaf karena
belum bisa menjadi teman sekelas yang kalian inginkan. Aku hanya berharap jika
nanti kalian menemukan seseorang yang seperti aku dalam masa depan kalian,
jangan memperlakukan mereka seperti kalian memperlakukan aku. Limpahkan saja
semuanya kepada aku. Hingga nanti, kalian tak punya sisa – sisa kebencian pada
yang lain. Terima kasih. Esok lusa bertepatan dengan masa bakti ayahku yang
telah habis, aku akan pindah sekolah. Jadi kalian akan merasa nyaman berada di
ruang kelas ini.” Aku mengakhiri ceritaku. menyeka air mata dan menahannya agar tak jatuh disini. Tak ada riuh tepuk tangan. Semuanya
hening. Aku kembali kepada meja terisolasiku. Menenggelamkan wajahku dan
meneteskan bulir rinai yang dapat dirasakan oleh aku seperti biasa.
Dari aku yang suka
melahirkan kata
Najwa Nabila
0 komentar:
Posting Komentar