Senin, 30 Desember 2019

Cerpen Tema Sosial " Tidak Apa "


Tidak Apa

Aku harap, hanya aku diantara jutaan ribu manusia penghuni planet ini yang merasakan ini. Aku harap hanya aku yang dengan mudahnya dipermainkan oleh garis – garis semesta. Kamu? Jangan. Aku harap hanya aku. Limpahkan semuanya kepadaku jika semesta menargetkan beberapa orang untuk mengalami hal serupa seperti aku. Karena rasanya sakit. Sakit ketika setiap sesak lahir dan teranggap sebagai isak.

Aku mengatur nafasku yang mulai terdengar gusar. Memainkan pilinan tanganku yang sekarang basah oleh keringat. Sebentar lagi, setelah murid perempuan di depan kelas ini menamatkan ceritanya. Aku akan dipanggil dan menggantikan posisi murid itu. Aku sudah memikirkannya semalaman. Aku membaca judul ceritaku sekali lagi. Memastikan bahwa aku siap dengan segala kemungkinan. Riuh tepuk tangan dari penghuni kelas menambah degupan jantungku berpacu lebih cepat. Aku memutuskun untuk meminum beberapa teguk air sebelum aku membacakan ceritaku di depan kelas.

“ Adera Mahesya” Guru Bahasa Indonesia itu memanggil namaku.

Aku berdiri sambil membawa hasil tulisanku untuk dibacakan di hadapan seisi penghuni kelas. aku menatap semuanya satu persatu sebelum mulai bersuara. Aku menghela nafas, meyakinkan sekali lagi dan aku mulai membaca.

“ Namaku Adera Mahesya. Kalian mungkin sudah tak asing lagi mendengar nama itu. Bagaimana tak asing bukan? Hanya nama itu yang selalu terlewat saat pembagian kelompok belajar.” Aku berhenti ketika kelas mulai hening meskipun mayoritas dari mereka masih bersikap tak peduli.

“ aku hanya anak perempuan yang bahkan jauh dari kata luar biasa. Jangankan luar biasa, kata biasapun sepertinya takkan pantas untuk aku yang sering kali di panggil Dera, si sampah dari kelas Ipa tiga.” Aku tersenyum. Pak guru memberi isyarat untuk melanjutkan ceritaku.

“ Aku tidak terdaftar sebagai  anak baru di sekolah ini. Aku sama seperti kalian.  Aku mengikuti masa orientasi selama 3 hari. Tapi, aku lebih merasa sebagai anak hantu di kelas ini. Iya bukan? Absenku berada di posisi ke dua setelah Abisya. Tapi setiap pembagian kelompok belajar menurut absen, aku selalu masuk kelompok terakhir sebagai anak bawang. Selama hampir satu semester ini aku duduk di kursih paling terisolasi. Tubuhku yang kecil seringkali dijadikan alasan jika Pa guru olahraga kita bertanya mengapa aku tidak masuk pada satu kelompok praktekpun. Kalian selalu berargumen bahwa aku tak terlihat. Tak apa, aku memaklumi itu. “ aku berhenti untuk mengatur nafas dan melihat kondisi seisi kelas.

 Tak apa, aku mengizinkan kalian untuk tertidur dari pada mendengarkan ceritaku. Lagi pula, aku sudah biasa untuk berbicara tapi tidak untuk didengarkan.” Aku menjeda ceritaku. Aku tersenyum. Semua mata tertuju padaku.

“ Aku jadi ingat ketika beberapa hari kemarin guru sejarah kita membuka sesi perdebatan dalam presentasi power point. Aku memberanikan diri untuk berbicara. Aku pikir, karena selama ini aku lebih sering diam maka aku terisolasi dari kelas ini. Dan hal menakjubkan hadir sebagai hadiah atas suaraku. Pemimpin kelas kita sendiri yang meyakinkan murid laki – laki di kelas ini. jika aku adalah perempuan yang selalu ingin benar. Bahkan temanku pun, tak mengelak akan hal itu. “ aku menunduk.

“ Sekali lagi tak apa karena aku memang tidak bisa apa – apa. Sampai saat ini, aku tak tahu mengapa aku dianggap sampah di ruangan ini. Bahkan jika aku melapor pada ayahku, beliau tak mungkin memanggil kalian satu kelas masuk ruang Bk. Ah iya, aku lupa mengenalkannya. Seharusnya kalian mengenal baik beliau di banding kalian mengenal anaknya yang bahkan berada di ruangan yang sama dengan kalian. Beliau adalah seorang kepala sekolah yang logo sekolahnya tertempel rapih pada baju seragam kalian. “ Seisi kelas mulai riuh. Di antara mereka mulai membisik – bisik.

“ Aku kira, kalian mungkin akan mengetahui hal ini jika kalian menyisihkan waktu kalian untuk hadir di acara ulang tahunkku kemarin lusa. Kalian tahu? Aku bahkan meminta kepada ayahku bahwa hanya teman – teman sekelasku yang boleh hadir pada acara itu. Dan nyatanya, aku mendapat hadiah paling istimewa dalam sejarah hidupku. Tak ada satu orangpun yang hadir dalam acara di rumahku itu. Tak apa, aku tetap bersyukur punya teman – teman menakjubkan seperti kalian. “ Aku berusaha mengulas senyum.

“ Sekali lagi, tak apa. Aku memaklumi itu. Hanya saja, di sisa akhir semester ini, aku menuliskan cerita ini untuk orang – orang yang memiliki teman sekelas seperti aku. Aku tak pernah meminta agar aku bisa satu kelas dengan kalian. Kelas sepuluh ipa tiga. Kelas yang terasa dihuni oleh 33 orang dan bukan 34. Kelas yang selalu melewatkan nama Adera Mahesya pada saat pembagian kelompok belajar. Kelas yang dalam imajinasiku adalah kelas yang sangat sempurna. Karena hanya kelas ini yang mau menerima aku. “ mataku mulai berair. Aku menarik nafas dan melanjutkan ceritaku.

“ Terlahir sebagai anak dari kepala sekolah tidak membuat aku baik – baik saja. Aku menghabiskan masa kecilku di dalam rumah. Tidak bermain pasir di luar ataupun bersepedah mengelilingi perumahan dengan anak – anak sebaya. Kalian tahu? Satu – satunya temanku pada saat itu lebih suka menarik rambutku daripada menarik tanganku untuk bermain. “ aku menyeka air di sudut mataku. Mengingatnya, membuat tubuhku gemetar.

“ Dunia sekolah dasarku juga tak begitu menyenangkan. Setiap pulang sekolah, seragam yang aku pakai selalu kotor. Jika bukan karena ulah anak laki – laki di kelasku yang menjadikan seragamku lap tangan, aku harus menyendiri seharian di sekolah itu karena anak – anak perempuan tak pernah ada yang mau untuk mengajakku berbicara, mereka terlalu takut jika nanti mereka mengalami hal yang sama jika berteman denganku. “ Aku berusaha mengatur diriku agar tetap tenang.

“ Lain lagi dengan dunia menengah pertamaku. Aku satu sekolah dengan sepupuku. Namun, itu tak menjadikan aku aman sepenuhnya. Setiap hari aku harus memberikan uang saku milikku kepada tiga sekawan yang menjaga di depan pintu kelas. aku tak bisa masuk kelas dengan aman jika aku tak memberi uang yang mereka minta. Di antara ratusan murid sekolah itu, hanya ada satu orang yang mau membantuku. Namanya Andi. Dia membantuku untuk melawan tiga sekawan itu. Dia juga melaporkan hal yang aku alami kepada guru BK. Dan akhirnya, aku kehilangannya karena sebuah kecelakaan. Rumor tak menyenangkanpun lahir setelah itu. Aku lagi – lagi dijauhi seluruh penghuni kelas karena mereka pikir, aku adalah anak pembawa sial.” Mataku berair lagi. Aku menarik nafas dan mendapati seluruh raut wajah menatapku dengan tatapan sulit diartikan.

“ Akhirnya aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Dan aku berada di tengah – tengah kalian. Aku selalu berimajinasi jika tiga tahun terakhirku akan baik – baik saja disini. Nyatanya tidak seperti itu. Tapi tak juga seburuk yang lalu. Tidak ada teman satu perumahan yang menarik – narik rambutku. Tidak ada anak laki – laki dalam kelas ini yang menjadikan seragamku lap tangan. Tak ada tiga sekawan yang menagih uang saku milikku di bibir pintu kelas. meskipun aku menerima perlakuan yang berbeda dan lebih sering dianggap tidak ada. “ Aku tersenyum.

“ Pada bagian akhir ceritaku, aku minta maaf jika kehadirankku hanya menambah sesak ruang kelas ini. Aku juga minta maaf jika aku lebih sering menenggelamkan wajah di meja daripada ikut mengisi jam kosong Bersama kalian. Maaf jika kalian harus berebut oksigen dengan aku di ruang ini. Aku …” aku tak mampu menahan  suaraku agar tak gemetar.

“ Aku minta maaf karena belum bisa menjadi teman sekelas yang kalian inginkan. Aku hanya berharap jika nanti kalian menemukan seseorang yang seperti aku dalam masa depan kalian, jangan memperlakukan mereka seperti kalian memperlakukan aku. Limpahkan saja semuanya kepada aku. Hingga nanti, kalian tak punya sisa – sisa kebencian pada yang lain. Terima kasih. Esok lusa bertepatan dengan masa bakti ayahku yang telah habis, aku akan pindah sekolah. Jadi kalian akan merasa nyaman berada di ruang kelas ini.” Aku mengakhiri ceritaku. menyeka air mata dan menahannya agar tak jatuh disini.  Tak ada riuh tepuk tangan. Semuanya hening. Aku kembali kepada meja terisolasiku. Menenggelamkan wajahku dan meneteskan bulir rinai yang dapat dirasakan oleh aku seperti biasa.


Dari aku yang suka melahirkan kata
Najwa Nabila

Share:

0 komentar:

Posting Komentar