Aini
Untuk
seseorang yang telah pergi tanpa sempat membaca, seseorang yang selalu
menganggap aku sebagai perempuan yang kuat dan hebat. Kamu adalah ceritaku yang berwarna sedangkan aku adalah
rangkaian huruf yang pudar tanpa sempat kamu baca. Terimakasih kepada semesta yang telah memberiku cara
untuk dapat melihatnya
Namaku
Aini. Aku anak perempuan berusia 16 tahun yang sama seperti kalian, adik
kalian, kakak kalian, sepupu kalian, teman kalian atau tetangga kalian. Aku
anak perempuan biasa yang jauh dari kata sempurna. Ibuku bukan seorang ratu
dalam istana begitu pula dengan ayahku yang bukan seorang raja. Namun bagiku,
hidup dalam keluarga sederhana adalah karunia Tuhan
yang paling berharga.
Tak
ada hal menarik yang bisa aku ceritakan kepada kalian. Aku hanya remaja SMA
yang menjalani sekolahku dengan biasa. Berangkat pagi, belajar kemudian pulang.
Sesekali aku melihat pertandingan voli atau menemani temanku latihan karate.
Bosan, ya aku mengakui bahwa rutinitas sehari – hariku membosankan. Lain lagi
ceritanya jika hari libur tiba. Aku akan senang hati membiarkan hukum fisika
tentang gravitasi mempengaruhi aku dan tempat tidurku. Kamu benar, atau mungkin
sama seperti kamu, aku menghabiskan waktu liburku dengan bermalas – malasan di
atas kasur.
Sesekali
suara indah ibuku menggema di setiap penjuru rumah. Frekuensinya makin
meningkat ketika langkahnya mendekati aku. Dengan senang hati ia mengomeliku,
anak gadisnya yang hari liburnya lebih senang bermalas – malasan. Kadang aku
iri dengan teman – teman sebayaku yang dengan mudah dapat keluar rumah, pergi
menonton film terbaru kemudian memilih buku novel yang baru dirilis atau bahkan
menghabiskan waktu seharian dengan pergi untuk menikmati alam kemudian
menyisakan aku dengan segala kecemburuan yang aku punya ketika mereka
memposting foto mereka berhastag hari libur menyenangkan.
Lebih
pahit ketika aku harus bertemu pada hari senin lagi. Setelah hari liburku bernuansa biasa
– biasa saja, aku harus berdiri lagi dan lagi di bawah senyuman sang surya pagi
hari. Memaksa indra pendengaranku
mendengarkan amanat Pembina upacara yang tak henti – hentinya membahas masalah
kebersihan, ketertiban hingga alarm pengingat bagi siswa dan siswi untuk segera
melunasi kewajiban membayar iuran pendidikan.
Hingga
pagi itu saat aku tengah melampiaskan rasa bosanku pada sebuah obrolan ringan
bersama teman- temanku di koridor, aku melihat ia. Anak laki – laki yang sedang
tertawa lepas karena humor receh teman disebelahnya. Ah, definisi apa itu? Aku
bahkan ikut tersenyum dan setelahnya aku merutuki mataku yang tertangkap basah
sedang mencoba melihatnya lagi. Untuk yang pertama kalinya, seorang anak
perempuan seperti aku sedang membuat masalah pada siklus hidup dunia sekolah
menengahnya.
Setelah
kejadian itu aku menjalani hidupku seperti biasanya. Tak terpirkirkan
sedikitpun untuk aku mencari tahu siapa anak laki – laki yang hobi membuatku
tersenyum itu. Karena aku tahu, dengan segala kekuranganku sebagai Aini, aku
hanya akan menyakiti diriku sendiri yang menaruh harap pada ia. Kadang hati
kecilku berapal harap bahwa ia akan lewat ke depan koridor kelasku, melihat aku
yang tengah menatapnya dan setelah itu ia akan mencari tahu aku atau menyapaku
atau bahkan ia akan ikut mengejekku. Dan perlu digaris bawahi, kadang bukan
selalu.
Mungkin
keberuntungan kali ini ingin dekat – dekat denganku. Siang itu aku melihatnya
memakai kaos olahraga dan membawa sebuah kertas absensi. Ia melihatku atau ia
yang sadar bahwa aku memperhatikannya, entah aku tak mau berfikir terlalu jauh
tentang hal itu. Mataku membulat ketika ia tersenyum ke arahku. Ralat atau
kearah temanku yang saat ini dengan akrab menyapanya.ah, anak laki – laki itu
tersenyum sangan ramah, setelah menukar sapa, ia memberikan selembar kertas
absensi itu pada aku. Aku? Bahkan tak bisa menahan degupan jantung yang berpacu
lebih cepat daripada biasanya.
“ kamu sekertaris kelas
ini kan? Kata Pa Bani, isi absensi ini, ceklis aja yang mau ikut kemah tahun
ini.” Ucapnya dan baru saat ini aku tahu namanya,
“ Ah iya, makasih. “ aku
hanya mengangguk – ngangguk kecil kemudian terdengar gelakan tawa dari temanku
yang membuat aku merunduk malu.
Tak
ada lanjutan
kisah istimewa setelah ia memberikan kertas absensi itu padaku. Aku tetap
menjadi Aini yang biasanya. Mungkin keberuntungan sedang menjauhiku akhir –
akhir ini. Kadang, ada sedikit kegelisahan yang menyuruhku sebaiknya mencari
tahu tentang ia lebih dulu, namun secepat kegelisahan itu muncul secepat itu
pula realita menamparku. Aku ini perempuan biasa, untuk apa mencari masalah
dengan ia yang mendekati sempurna?
Sampai
siang itu, aku melihatnya yang sedang membereskan setumpuk kertas di meja Pa
Bani, kemampuan berdebatku entah menguap kemana sampai untuk menyapanya saja,
aku tak mampu menemukan kata yang aku anggap tepat. Jika menatapnya, aku bahkan
kehilangan caraku untuk tetap tenang ketika menyampaikan pendapat. Entahlah,
semua taktik yang telah aku pelajari tak aku implementasikan sama sekali jika
aku berhadapan dengan ia.
Kamu
mau tahu? Dia bahkan tak mirip sama sekali dengan tokoh novel yang aku baca kemarin
sore. Dia bukan seorang Darka yang
dingin untuk Chinta yang hangat. Dia bukan Nathan yang tampan untuk Salma yang sederhana. Dia juga bukan seorang Dylan yang menarik untuk Melody yang penuh rahasia. Dia bahkan tak pernah
meluangkan waktunya untuk sekadar menyapa ketika kami berpapasan. Sepertinya
aku yang terlalu rajin berhalusinasi atau memang dia yang sama sekali tak
tertarik pada rangkaian tulang yang
berwujud perempuan.
Bahkan,
ketika aku sedang makan di kantin, salah satu temanku menangkap basah aku yang
tengah asyik memperhatikan ia. Di
balik keramaian yang riuh dengan rapalan protesan, retinaku tertarik untuk
melihat ia yang sedang membujuk temannya agar mau mengantri dengan yang lain.
“ Aku tahu, kamu akhir –
akhir ini lebih sering memperhatikan Eza. Kamu sama Eza ada hubungan apa? “ mataku beralih. ah, aku tersedak
mendengar ia berucap seperti itu. Apa tadi? Hubungan? Laki- laki bernama Eza
itu bahkan belum pernah berbicara denganku. Aku hanya menggeleng cepat kemudian
melanjutkan aktivitas makanku. Sampai temanku itu, dengan suara lantangnya
memanggil nama Eza.
“ Eh Eza! Sini deh, ada
Aini.” Aku merutuki suara lantang temanku itu. Ingin sekali aku memukul
kepalanya dengan sendok plastik
di
tanganku.
Ah
tak apalah, laki – laki bernama Eza itu tak akan mengindahkan panggilan temanku
ini. Lagipula siapa aku? Level rendah
sebagai teman sekelaspun bukan.
Sepertinya semesta saat ini sedang bergurau. Pasalnya,
Laki – laki bernama Eza itu tersenyum, mengangkat alisnya dan berjalan mendekat
ke arahku. Aku hanya melempar pandang ke arah teman gilaku ini. Tebak, aku
harus bicara apa kepadanya?
“ Iya, ada apa Aini? “ dia benar – benar bertanya kan?
“ eh tidak za, tidak ada apa – apa. Temanku saja ini, dia lagi iseng
memanggil nama orang. “
“ Yah kamu gimana si El, padahal aku udah senang dipanggil perempuan cantik
seperti teman kamu ini. “ detik itu juga, jantungku berdetak lebih cepat. Ah
ayolah, aku bahkan telah menghindari rasa ini dari dua minggu yang lalu. Lihat?
Semesta sedang meggodaku.
Setelah mengatakan itu dengan cengiran bersalahnya, laki
– laki bernama Eza itu pergi lagi. Meninggalkan aku dengan kupu – kupu terbang
yang tak mau hilang dari perutku dan aku membenci itu. Aku selalu membenci
sebuah kehilangan. Bahkan ketika penaku hilang, aku mengintrogasi teman –
temanku yang aku curigai sebagai tersangka. Dan dia, laki – laki yang aku temui
sedang tertawa saat itu akan mendekatkan aku pada fase kehilangan yang
selanjutnya.
Sebelumnya, bahkan aku belum pernah menjadi Aini yang
seperti ini. Aini yang menghabiskan waktu liburnya dengan merawat tanaman di
halaman rumah. Sepanjang pagi, aku membiarkan kulitku untuk menjadi santapan
udara dingin dan nyamuk – nyamuk kecil . Karena menurut informasi yang aku
dapat, laki – laki bernama Eza itu selalu mengunjungi rumah neneknya yang tepat
berada di samping kiri rumahku. Ya, kamu benar. Aku hanya ingin melihatnya
lagi. Lebih tepatnya, melihat senyumnya. Setelah lama menunggu dengan berpura –
pura menyiram bunga, laki – laki itu benar – benar mengunjungi rumah neneknya.
Ketika aku mengangkat tangan untuk menyapanya, laki – laki itu menyegerakan
langkahnya agar lebih cepat sampai pintu. Senyum yang sudah aku siapkan pada
akhirnya menguap dan menghilang dengan aerosol yang tidak terlihat. Mungkin aku
sedang tidak beruntung hari ini. Dan aku mencoba kesempatan yang lain. Setiap
hari libur pada minggu – minggu selanjutnya tiba, aku selalu berpura – pura
menyiram bunga. Bahkan, bunga di halaman rumahku saat ini lebih berwarna.
Sering kali aku mendapat pujian dari ibu atau tetangga di sekitar rumah yang
meminta bibit dari bunga yang aku rawat. Padahal semesta tahu, aku hanya ingin
melihat dia yang tak pernah mau menyapa.
Sering kali aku berfikir untuk berhenti meyakinkan hati.
Karena dramaku menyiram bunga pada minggu yang lalu tak pernah membuahkan
hasil. Dan saat ini peri – peri kecil menyuruhku lagi untuk menjalankan kepura
– puraan aku yang selanjutnya. Mulai hari itu aku menambah rutinitasku
menghabiskan waktu libur. Sebelumnya, aku menjadi Aini yang lebih senang
mengoleksi buku novel. Dan sekarang, aku menjadi Aini yang lebih senang
mengoleksi buku – buku materi dan latihan soal. Aini yang suka menggurutu
dengan tugas fisika telah berubah menjadi Aini yang gemar menunggu pelajaran
fisika. Kartu anggota tetap remedialku saat ini jarang aku gunakan. Nilai –
nilai ulanganku berubah drastis. Aku, menjadi Aini yang dikenal banyak guru.
Kehidupanku menjadi Aini yang biasa telah berganti menjadi Aini yang jauh dari
biasa. Akibat dari perubahanku, aku mempunyai banyak teman. Setiap sore rumahku
tak pernah sepi dari kelompok belajar. Tak sedikit dari mereka yang tidak satu
kelas dengan aku meminta aku untuk bergabung dengan tugas – tugas mereka.
Padahal semestapun tahu, aku berubah hanya untuk sapaan sederhana dan lambaian
tangan dari dia. Dan entah untuk yang keberapa kalinya, aku merasa usahaku
adalah kepura – puraan sia – sia.
Terkadang
aku juga lelah untuk tetap menaruh harap. Semenjak aku menjadi Aini si perawat
bunga, Dia sudah jarang mengunjungi rumah neneknya. Entah mungkin dia
menyembunyikan itu dariku atau memang dia yang tak mau melihat aku. Seringkali
aku memberi jawaban sendiri atas kegelisahan yang aku punya. Dia mungkin
mengubah waktu berkunjungnya ke rumah neneknya. meskipun sebenarnya aku lebih
yakin bahwa dia sedang berada pada fase
menghindar dari aku.
Aku
juga sempat berhenti untuk memaksakan diri agar terlihat pintar dan melahirkan
nilai bagus ketika ujian. karena pada kenyataannya, hanya dia yang tak pernah
bertanya kepada aku. entah itu tentang lembaran tugas yang telah aku kerjakan
atau setumpuk ujian yang telah dibahas oleh guru di kelasku. Lagi - lagi aku
tetap menanam benih prasangka baik. mungkin dia sungkan untuk bertanya padaku
seputar materi pembelajaran. lagi pula, aku ini siapa? kategori ssbagai
temanpun nyatanya tak aku dapatkan.
Setelah
aku berubah, dia benar - benar menghilang dari permukaan bumi pada radius jarak
pandang milikku. Aku tak pernah melihatnya lagi mencari selembar kertas absensi
di meja Pa Bani. Aku tak pernah melihatnya memakai kaos olahraga dan memberiku
kertas absensi lagi. bahkan, ketika aku sedang makan di kantin, aku tak melihat
ia bersama teman - teman kelasnya.
Hingga
saat siang hari itu, aku yang diberi tugas oleh guru kimia untuk mengawasi
ulangan harian di kelasnya karena beliau berhalangan masuk, aku melihat satu
bangku kosong disebelah Aldi. dia benar - benar menghilang. gumamku dalam hati.
untuk menjawab rasa penasaranku,
aku pura- pura mengabsen kemudian bertanya pada anak di dalam kelasnya.
ketika aku menyebutkan nama dia, teman - temannya di kursih depan, belakang,
samping kanan dan kiri serempak menjawab 'Pindah'
Aku
tak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat itu. bahkan beberapa temannya yang
mengenaliku sempat menggodaku karena melihat ekspresi keterkejutanku.
" Pindah sekolah
doang Ai, bukan pindah hati. Gak usah seterkejut itu." Celetuk laki - laki
di belakang kursih kosong itu.
Aku
hanya tersenyum mengenyahkan kecurigaan mereka. Tak melahirkan satu katapun
untuk membenarkan atau menyalahkan prasangka mereka antara aku dan dia. Aku
seperti kehilangan ribuan kata ketika mataku kehilangan satu nama.
Mulai
hari itu, aku berhenti menjadi Aini yang rajin menyiram bunga. Aku mengurung
diriku di kamar seharian. sesekali aku keluar hanya jika aku lapar atau
mengambil beberapa barang. Aku berhenti menjadi Aini yang rajin mengerjakan
tugas. Bahkan saat ini, aku lebih suka mengisi buku tugasku dengan jawaban
milik orang lain. Aku benar - benar membawa diriku pada titik paling buruk. aku
tak tahu kepada apa aku melampiaskan rasa kecewaku. dia bahkan tak memberiku
secarik kertas berisi kabar kepindahannya atau mengirimiku pesan tentang dimana
ia sekarang.
Aku
terlalu rajin berhalusinasi rupanya. mana mungkin dia bersikap layaknya aku ini
adalah sesuatu yang berharga. dia bahkan tak tahu bahwa aku menyukainya dan
berubah untuk mencari perhatiannya. aku tak lagi mengemis cinta pada semesta.
aku hanya berbaik hati bermain - main dengan pemberian semesta. atau perlu aku
ganti kata ' pemberian ' dengan ' pengenalan '. karena saat ini aku hanya
menerima sakit atas kehilangan yang tak seharusnya terasa.
Setelah
aku memutuskan untuk mengembalikan hariku seperti biasanya, tidak ada kepura -
puraan, tidak ada pemaksaan, aku lebih memilih menjadi Aini yang seadanya.
sesekali aku bertanya pada Ibu apa yang kurang dari aku yang sekarang. bukan
ingin menjadi makhluk ciptaan yang sempurna. aku hanya berusaha menjadi Aini
yang seadanya dan menyukai alasan sederhana mengapa aku harus berubah ke arah
yang lebih baik. karena aku akan punya ' masa depan '
Aku
masih ingat bagaimana tawanya membentuk garis lengkung diwajahku. dan saat ini
aku lebih suka membuat garis lengkung di wajahku dan wajah teman - temanku. aku
tak lagi menjadi pribadi yang menunggu orang lain dulu. aku lebih suka menjadi
pemulai tanpa pengakhir sebuah pembicaraan. Aku menyukai diriku yang sekarang.
dan aku belum bisa menyembunyikan rindu yang tak harus tersampaikan kepada dia.
Hari
itu, ketika aku sedang mengobrol dengan teman - teman kelasku, aku melihat anak
laki - laki yang sangat mirip dengan dia. dia berjalan ke arahku. dia memberiku
senyum yang sama dengan senyum miliknya beberapa bulan yang lalu. sedangkan
aku? aku hanya membalasnya dengan mata bulat yang tidak percaya. dengan baju
seragam yang memiliki corak sama denganku, dia semakin mendekat dan melebarkan
senyumnya. dia berdiri tepat dihadapanku yang tengah mematung. aku tak percaya
bahwa laki - laki dihadapanku saat ini adalah Eza.
" Hai Aini, senang
bisa bertemu lagi denganmu " bahkan ketika dia melahirkan kata yang bisa
kudengar, duniaku seperti berhenti saat
itu juga.
Dari yang suka melahirkan kata
Najwa Nabila
0 komentar:
Posting Komentar