Sabtu, 28 Desember 2019

Cerpen Tema Cinta " Aini"


Aini

Untuk seseorang yang telah pergi tanpa sempat membaca, seseorang yang selalu menganggap aku sebagai perempuan yang kuat dan hebat. Kamu adalah ceritaku yang berwarna sedangkan aku adalah rangkaian huruf yang pudar tanpa sempat kamu baca. Terimakasih kepada semesta yang telah memberiku cara untuk dapat melihatnya

Namaku Aini. Aku anak perempuan berusia 16 tahun yang sama seperti kalian, adik kalian, kakak kalian, sepupu kalian, teman kalian atau tetangga kalian. Aku anak perempuan biasa yang jauh dari kata sempurna. Ibuku bukan seorang ratu dalam istana begitu pula dengan ayahku yang bukan seorang raja. Namun bagiku, hidup dalam keluarga sederhana adalah karunia Tuhan yang paling berharga.

Tak ada hal menarik yang bisa aku ceritakan kepada kalian. Aku hanya remaja SMA yang menjalani sekolahku dengan biasa. Berangkat pagi, belajar kemudian pulang. Sesekali aku melihat pertandingan voli atau menemani temanku latihan karate. Bosan, ya aku mengakui bahwa rutinitas sehari – hariku membosankan. Lain lagi ceritanya jika hari libur tiba. Aku akan senang hati membiarkan hukum fisika tentang gravitasi mempengaruhi aku dan tempat tidurku. Kamu benar, atau mungkin sama seperti kamu, aku menghabiskan waktu liburku dengan bermalas – malasan di atas kasur.

Sesekali suara indah ibuku menggema di setiap penjuru rumah. Frekuensinya makin meningkat ketika langkahnya mendekati aku. Dengan senang hati ia mengomeliku, anak gadisnya yang hari liburnya lebih senang bermalas – malasan. Kadang aku iri dengan teman – teman sebayaku yang dengan mudah dapat keluar rumah, pergi menonton film terbaru kemudian memilih buku novel yang baru dirilis atau bahkan menghabiskan waktu seharian dengan pergi untuk menikmati alam kemudian menyisakan aku dengan segala kecemburuan yang aku punya ketika mereka memposting foto mereka berhastag hari libur menyenangkan.

Lebih pahit ketika aku harus bertemu pada hari senin lagi. Setelah hari liburku bernuansa biasa – biasa saja, aku harus berdiri lagi dan lagi di bawah senyuman sang surya pagi hari. Memaksa indra pendengaranku mendengarkan amanat Pembina upacara yang tak henti – hentinya membahas masalah kebersihan, ketertiban hingga alarm pengingat bagi siswa dan siswi untuk segera melunasi kewajiban membayar iuran pendidikan.

Hingga pagi itu saat aku tengah melampiaskan rasa bosanku pada sebuah obrolan ringan bersama teman- temanku di koridor, aku melihat ia. Anak laki – laki yang sedang tertawa lepas karena humor receh teman disebelahnya. Ah, definisi apa itu? Aku bahkan ikut tersenyum dan setelahnya aku merutuki mataku yang tertangkap basah sedang mencoba melihatnya lagi. Untuk yang pertama kalinya, seorang anak perempuan seperti aku sedang membuat masalah pada siklus hidup dunia sekolah menengahnya.

Setelah kejadian itu aku menjalani hidupku seperti biasanya. Tak terpirkirkan sedikitpun untuk aku mencari tahu siapa anak laki – laki yang hobi membuatku tersenyum itu. Karena aku tahu, dengan segala kekuranganku sebagai Aini, aku hanya akan menyakiti diriku sendiri yang menaruh harap pada ia. Kadang hati kecilku berapal harap bahwa ia akan lewat ke depan koridor kelasku, melihat aku yang tengah menatapnya dan setelah itu ia akan mencari tahu aku atau menyapaku atau bahkan ia akan ikut mengejekku. Dan perlu digaris bawahi, kadang bukan selalu.

Mungkin keberuntungan kali ini ingin dekat – dekat denganku. Siang itu aku melihatnya memakai kaos olahraga dan membawa sebuah kertas absensi. Ia melihatku atau ia yang sadar bahwa aku memperhatikannya, entah aku tak mau berfikir terlalu jauh tentang hal itu. Mataku membulat ketika ia tersenyum ke arahku. Ralat atau kearah temanku yang saat ini dengan akrab menyapanya.ah, anak laki – laki itu tersenyum sangan ramah, setelah menukar sapa, ia memberikan selembar kertas absensi itu pada aku. Aku? Bahkan tak bisa menahan degupan jantung yang berpacu lebih cepat daripada biasanya. 
“ kamu sekertaris kelas ini kan? Kata Pa Bani, isi absensi ini, ceklis aja yang mau ikut kemah tahun ini.” Ucapnya dan baru saat ini aku tahu namanya,
“ Ah iya, makasih. “ aku hanya mengangguk – ngangguk kecil kemudian terdengar gelakan tawa dari temanku yang membuat aku merunduk malu.

Tak ada lanjutan kisah istimewa setelah ia memberikan kertas absensi itu padaku. Aku tetap menjadi Aini yang biasanya. Mungkin keberuntungan sedang menjauhiku akhir – akhir ini. Kadang, ada sedikit kegelisahan yang menyuruhku sebaiknya mencari tahu tentang ia lebih dulu, namun secepat kegelisahan itu muncul secepat itu pula realita menamparku. Aku ini perempuan biasa, untuk apa mencari masalah dengan ia yang mendekati sempurna?

Sampai siang itu, aku melihatnya yang sedang membereskan setumpuk kertas di meja Pa Bani, kemampuan berdebatku entah menguap kemana sampai untuk menyapanya saja, aku tak mampu menemukan kata yang aku anggap tepat. Jika menatapnya, aku bahkan kehilangan caraku untuk tetap tenang ketika menyampaikan pendapat. Entahlah, semua taktik yang telah aku pelajari tak aku implementasikan sama sekali jika aku berhadapan dengan ia.

Kamu mau tahu? Dia bahkan tak mirip sama sekali dengan tokoh novel yang aku baca kemarin sore. Dia bukan seorang Darka yang dingin untuk  Chinta yang hangat. Dia bukan Nathan yang tampan untuk Salma yang sederhana. Dia juga bukan seorang Dylan yang menarik untuk Melody yang penuh rahasia. Dia bahkan tak pernah meluangkan waktunya untuk sekadar menyapa ketika kami berpapasan. Sepertinya aku yang terlalu rajin berhalusinasi atau memang dia yang sama sekali tak tertarik pada rangkaian tulang yang berwujud perempuan.

Bahkan, ketika aku sedang makan di kantin, salah satu temanku menangkap basah aku yang tengah asyik memperhatikan ia. Di balik keramaian yang riuh dengan rapalan protesan, retinaku tertarik untuk melihat ia yang sedang membujuk temannya agar mau mengantri dengan yang lain.
“ Aku tahu, kamu akhir – akhir ini lebih sering memperhatikan Eza. Kamu sama Eza ada hubungan apa? “ mataku beralih. ah, aku tersedak mendengar ia berucap seperti itu. Apa tadi? Hubungan? Laki- laki bernama Eza itu bahkan belum pernah berbicara denganku. Aku hanya menggeleng cepat kemudian melanjutkan aktivitas makanku. Sampai temanku itu, dengan suara lantangnya memanggil nama Eza.
“ Eh Eza! Sini deh, ada Aini.” Aku merutuki suara lantang temanku itu. Ingin sekali aku memukul kepalanya dengan sendok plastik di tanganku.

Ah tak apalah, laki – laki bernama Eza itu tak akan mengindahkan panggilan temanku ini. Lagipula  siapa aku? Level rendah sebagai teman sekelaspun bukan. Sepertinya semesta saat ini sedang bergurau. Pasalnya, Laki – laki bernama Eza itu tersenyum, mengangkat alisnya dan berjalan mendekat ke arahku. Aku hanya melempar pandang ke arah teman gilaku ini. Tebak, aku harus bicara apa kepadanya?
“ Iya, ada apa Aini? “ dia benar – benar bertanya kan?
“ eh tidak za, tidak ada apa – apa. Temanku saja ini, dia lagi iseng memanggil nama orang. “
“ Yah kamu gimana si El, padahal aku udah senang dipanggil perempuan cantik seperti teman kamu ini. “ detik itu juga, jantungku berdetak lebih cepat. Ah ayolah, aku bahkan telah menghindari rasa ini dari dua minggu yang lalu. Lihat? Semesta sedang meggodaku.

Setelah mengatakan itu dengan cengiran bersalahnya, laki – laki bernama Eza itu pergi lagi. Meninggalkan aku dengan kupu – kupu terbang yang tak mau hilang dari perutku dan aku membenci itu. Aku selalu membenci sebuah kehilangan. Bahkan ketika penaku hilang, aku mengintrogasi teman – temanku yang aku curigai sebagai tersangka. Dan dia, laki – laki yang aku temui sedang tertawa saat itu akan mendekatkan aku pada fase kehilangan yang selanjutnya.

Sebelumnya, bahkan aku belum pernah menjadi Aini yang seperti ini. Aini yang menghabiskan waktu liburnya dengan merawat tanaman di halaman rumah. Sepanjang pagi, aku membiarkan kulitku untuk menjadi santapan udara dingin dan nyamuk – nyamuk kecil . Karena menurut informasi yang aku dapat, laki – laki bernama Eza itu selalu mengunjungi rumah neneknya yang tepat berada di samping kiri rumahku. Ya, kamu benar. Aku hanya ingin melihatnya lagi. Lebih tepatnya, melihat senyumnya. Setelah lama menunggu dengan berpura – pura menyiram bunga, laki – laki itu benar – benar mengunjungi rumah neneknya. Ketika aku mengangkat tangan untuk menyapanya, laki – laki itu menyegerakan langkahnya agar lebih cepat sampai pintu. Senyum yang sudah aku siapkan pada akhirnya menguap dan menghilang dengan aerosol yang tidak terlihat. Mungkin aku sedang tidak beruntung hari ini. Dan aku mencoba kesempatan yang lain. Setiap hari libur pada minggu – minggu selanjutnya tiba, aku selalu berpura – pura menyiram bunga. Bahkan, bunga di halaman rumahku saat ini lebih berwarna. Sering kali aku mendapat pujian dari ibu atau tetangga di sekitar rumah yang meminta bibit dari bunga yang aku rawat. Padahal semesta tahu, aku hanya ingin melihat dia yang tak pernah mau menyapa.

Sering kali aku berfikir untuk berhenti meyakinkan hati. Karena dramaku menyiram bunga pada minggu yang lalu tak pernah membuahkan hasil. Dan saat ini peri – peri kecil menyuruhku lagi untuk menjalankan kepura – puraan aku yang selanjutnya. Mulai hari itu aku menambah rutinitasku menghabiskan waktu libur. Sebelumnya, aku menjadi Aini yang lebih senang mengoleksi buku novel. Dan sekarang, aku menjadi Aini yang lebih senang mengoleksi buku – buku materi dan latihan soal. Aini yang suka menggurutu dengan tugas fisika telah berubah menjadi Aini yang gemar menunggu pelajaran fisika. Kartu anggota tetap remedialku saat ini jarang aku gunakan. Nilai – nilai ulanganku berubah drastis. Aku, menjadi Aini yang dikenal banyak guru. Kehidupanku menjadi Aini yang biasa telah berganti menjadi Aini yang jauh dari biasa. Akibat dari perubahanku, aku mempunyai banyak teman. Setiap sore rumahku tak pernah sepi dari kelompok belajar. Tak sedikit dari mereka yang tidak satu kelas dengan aku meminta aku untuk bergabung dengan tugas – tugas mereka. Padahal semestapun tahu, aku berubah hanya untuk sapaan sederhana dan lambaian tangan dari dia. Dan entah untuk yang keberapa kalinya, aku merasa usahaku adalah kepura – puraan sia – sia.

Terkadang aku juga lelah untuk tetap menaruh harap. Semenjak aku menjadi Aini si perawat bunga, Dia sudah jarang mengunjungi rumah neneknya. Entah mungkin dia menyembunyikan itu dariku atau memang dia yang tak mau melihat aku. Seringkali aku memberi jawaban sendiri atas kegelisahan yang aku punya. Dia mungkin mengubah waktu berkunjungnya ke rumah neneknya. meskipun sebenarnya aku lebih yakin  bahwa dia sedang berada pada fase menghindar dari aku.

Aku juga sempat berhenti untuk memaksakan diri agar terlihat pintar dan melahirkan nilai bagus ketika ujian. karena pada kenyataannya, hanya dia yang tak pernah bertanya kepada aku. entah itu tentang lembaran tugas yang telah aku kerjakan atau setumpuk ujian yang telah dibahas oleh guru di kelasku. Lagi - lagi aku tetap menanam benih prasangka baik. mungkin dia sungkan untuk bertanya padaku seputar materi pembelajaran. lagi pula, aku ini siapa? kategori ssbagai temanpun nyatanya tak aku dapatkan.

Setelah aku berubah, dia benar - benar menghilang dari permukaan bumi pada radius jarak pandang milikku. Aku tak pernah melihatnya lagi mencari selembar kertas absensi di meja Pa Bani. Aku tak pernah melihatnya memakai kaos olahraga dan memberiku kertas absensi lagi. bahkan, ketika aku sedang makan di kantin, aku tak melihat ia bersama teman - teman kelasnya.

Hingga saat siang hari itu, aku yang diberi tugas oleh guru kimia untuk mengawasi ulangan harian di kelasnya karena beliau berhalangan masuk, aku melihat satu bangku kosong disebelah Aldi. dia benar - benar menghilang. gumamku dalam hati.
untuk menjawab rasa penasaranku, aku pura- pura mengabsen kemudian bertanya pada anak di dalam kelasnya. ketika aku menyebutkan nama dia, teman - temannya di kursih depan, belakang, samping kanan dan kiri serempak menjawab 'Pindah'

Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat itu. bahkan beberapa temannya yang mengenaliku sempat menggodaku karena melihat ekspresi keterkejutanku.
" Pindah sekolah doang Ai, bukan pindah hati. Gak usah seterkejut itu." Celetuk laki - laki di belakang kursih kosong itu.

Aku hanya tersenyum mengenyahkan kecurigaan mereka. Tak melahirkan satu katapun untuk membenarkan atau menyalahkan prasangka mereka antara aku dan dia. Aku seperti kehilangan ribuan kata ketika mataku kehilangan satu nama.

Mulai hari itu, aku berhenti menjadi Aini yang rajin menyiram bunga. Aku mengurung diriku di kamar seharian. sesekali aku keluar hanya jika aku lapar atau mengambil beberapa barang. Aku berhenti menjadi Aini yang rajin mengerjakan tugas. Bahkan saat ini, aku lebih suka mengisi buku tugasku dengan jawaban milik orang lain. Aku benar - benar membawa diriku pada titik paling buruk. aku tak tahu kepada apa aku melampiaskan rasa kecewaku. dia bahkan tak memberiku secarik kertas berisi kabar kepindahannya atau mengirimiku pesan tentang dimana ia sekarang.

Aku terlalu rajin berhalusinasi rupanya. mana mungkin dia bersikap layaknya aku ini adalah sesuatu yang berharga. dia bahkan tak tahu bahwa aku menyukainya dan berubah untuk mencari perhatiannya. aku tak lagi mengemis cinta pada semesta. aku hanya berbaik hati bermain - main dengan pemberian semesta. atau perlu aku ganti kata ' pemberian ' dengan ' pengenalan '. karena saat ini aku hanya menerima sakit atas kehilangan yang tak seharusnya terasa.

Setelah aku memutuskan untuk mengembalikan hariku seperti biasanya, tidak ada kepura - puraan, tidak ada pemaksaan, aku lebih memilih menjadi Aini yang seadanya. sesekali aku bertanya pada Ibu apa yang kurang dari aku yang sekarang. bukan ingin menjadi makhluk ciptaan yang sempurna. aku hanya berusaha menjadi Aini yang seadanya dan menyukai alasan sederhana mengapa aku harus berubah ke arah yang lebih baik. karena aku akan punya ' masa depan '

Aku masih ingat bagaimana tawanya membentuk garis lengkung diwajahku. dan saat ini aku lebih suka membuat garis lengkung di wajahku dan wajah teman - temanku. aku tak lagi menjadi pribadi yang menunggu orang lain dulu. aku lebih suka menjadi pemulai tanpa pengakhir sebuah pembicaraan. Aku menyukai diriku yang sekarang. dan aku belum bisa menyembunyikan rindu yang tak harus tersampaikan kepada dia.

Hari itu, ketika aku sedang mengobrol dengan teman - teman kelasku, aku melihat anak laki - laki yang sangat mirip dengan dia. dia berjalan ke arahku. dia memberiku senyum yang sama dengan senyum miliknya beberapa bulan yang lalu. sedangkan aku? aku hanya membalasnya dengan mata bulat yang tidak percaya. dengan baju seragam yang memiliki corak sama denganku, dia semakin mendekat dan melebarkan senyumnya. dia berdiri tepat dihadapanku yang tengah mematung. aku tak percaya bahwa laki - laki dihadapanku saat ini adalah Eza.
" Hai Aini, senang bisa bertemu lagi denganmu " bahkan ketika dia melahirkan kata yang bisa kudengar,  duniaku seperti berhenti saat itu juga.



Dari yang suka melahirkan kata
Najwa Nabila














Share:

0 komentar:

Posting Komentar