Bagian Kelima
“ Namanya Payung dan ia bisa bicara”
Laki – laki itu tersenyum ketika aku
mendonggak untuk menatapnya. Ekspresi yang berbanding terbalik dengan seorang
remaja laki – laki yang aku temui malam itu.
“ Hei, Jea?” laki – laki itu mementikan
jarinya di depan wajahku.
“ Eh iya,” kali ini aku benar – benar setengah
sadar.
“ Mari aku bantu.” Laki – laki itu
mengulangi ucapannya.
“ Ah iya, terima kasih.”
Jangan salahkan aku yang salah tingkah. Saat
ini, kesadaranku untuk mencerna perkataan laki – laki itu sedikit terlambat. Karena
jujur, aku terkejut. Aku berpikir, remaja yang ku temui malam kemarin sama
sekali tidak bisa bicara. Dan apa ini?
“ Panggil aku Payung.”
“ apa ? Sayang ? “ laki – laki itu
tertawa, dan itu membuatku bertambah heran. Memangnya aku tadi memanggil dia apa
?
“ itu juga boleh.” Laki – laki itu berhenti
tertawa.
Sebenarnya saat ini tak ada tangan yang
harus aku jabat. Karena, tanganku masih berada di tangannya. Laki – laki itu
menggenggam tanganku.
“ kamu bisa memanggilku Jea, sayang.” Dia
mengangguk lalu kembali tertawa. Aku kembali heran, apa saat ini penampilanku terlalu
konyol?
“ Dengar Jea, aku sudah tahu namamu. Namaku
Payung. Bukan sayang. Kecuali jika kamu memang ingin memanggilku seperti itu. “
Pipiku memanas, reflex melepaskan
tanganku yang belum dilepas dari genggamannya.
“ Ah iya, terima kasih coklat panasnya. Minuman
itu sangat membantu. “ ucapnya.
Aku teringat bagaimana malam kemarin aku
menarik tanganya secara paksa untuk menerima coklat panas yang aku beli. Dan saat
ini, tangan itu terulur untuk membantuku berdiri.
“ Ya sudah, Payung kembali ke kelas ya, “
ia tersenyum lagi kemudian berjalan mundur dan berlari meninggalkanku tanpa
menunggu jawaban ‘iya’ dari mulutku. Aku hanya mengangguk kecil.
Mungkin hari ini, remaja laki – laki itu
yang akan menganggap aku bisu.
Dan hari ini, siang ini, di kantin yang
mulai sepi dengan lututku yang perih, aku tahu nama remaja laki – laki itu. Namanya
Payung dan dia bisa bicara.
0 komentar:
Posting Komentar