Bagian Keempat
“ Tangan itu, tangan yang malam
kemarin ku tarik secara paksa. Dan hari ini, tangan itu membantuku untuk
berdiri “
Suasa kantin saat itu sangat ramai. Bukan,
bukan karena semua guru briving tiba – tiba. Bukan juga karena ada siswa nakal
yang bermain – main dengan bel sekolah. Tapi memang benar, saat ini sedang jam
istirahat.
Aku berusaha agar langkahku terbuka
selebar mungkin dan berjalan secepat mungkin. Karena aku menakuti satu hal. Mie
ayam. Ya, aku takut mie ayam buatan Nini sudah habis diborong oleh anak – anak kelaparan
atau anak – anak yang frustasi dengan soal fisika.
Aku bergumam, berdecak kesal ketika
melihat warung mie ayam itu dikepung oleh mereka. Aku cukup sadar diri dengan postur
tubuhku yang kecil. Di sana aku hanya akan menjadi pelampiasan keegoisan
mereka. Aku menghela nafasku kasar. Bola mataku melirik ke sekitar kantin. Memang
masih ada beberapa warung yang tidak terlalu ramai atau terkepung seperti
warung mie ayam ini. Namun, aku bukan tipikal cewek yang mudah merubah haluan. Ya,
dari kelas niat makan mie ayam dan pulang dari kanting dengan perut terisi oleh
batagor atau siomay.
Aku tersenyum jail. Beberapa siswi yang
melihat ku mungkin menganggap aku terlalu frustasi dengan soal matematika. Tak apa,
yang penting aku tahu bagaimana caranya mendapatkan satu mangkuk mie ayam
dengan selamat.
“ Air panas mbak, air panas permisi, air
panas..” aku berteriak keras seolah – olah aku membawa segelas air panas. Dan lihat,
aku berhasil menyelinap ke dalam warung. Untuk pertama kalinya, aku bersyukur
dengan postur tubuhku yang seperti ini.
“ Selamat siang Nini cantik, mie ayam
yang ini aku ambil ya,” aku tersenyum dan mengambil satu mangkuk mie ayam yang
sudah siap sedia untuk disantap. Nini hanya menggeleng – gelengkan kepala
melihat kreatifitasku untuk mendapatkan mie ayam buatannya. Sedangkan anak –
anak yang lain? Menatapku kesal dan kembali melancarkan demonya.
Aku tersenyum. Berjalan dengan wajah
gembira seperti anak – anak kecil yang berhasil memenangkan lotre. Beberapa pengunjung
kantin menyauti ku agar aku membenarkan tali sepatuku yang terlepas. Namun aku
hanya tersenyum dan kembali sibuk
mencari tempat duduk. Sampai di detik berikutnya, seseorang menginjak tali
sepatuku ketika aku mengambil langkah berikutnya.
Brugh.
Aku
terhuyung dan terjatuh. Aku meringis, merasakan ngilu dilutut dan pinggangku. Mataku
perih karena saat ini, mie ayam buatan Nini berhamburan di lantai.
Di detik berikutnya aku hanya menjadi tontonan
publik. Suara tawa, cibiran yang mendominasi kantin ketika aku memasang wajah
tak rela ku. Aku mendenggus, mencoba berdiri sendiri.
“ Namamu Jea kan? Mari aku bantu.” Aku mendonggak
ke atas ketika sebuah tangan terulur di
depan wajahku.
Aku terkejut.
Laki – laki itu, laki – laki yang aku
temui ketika malam kemarin dengan tangannya yang malam kemarin aku Tarik secara
paksa dan saat ini, tangan itu membantuku untuk berdiri
0 komentar:
Posting Komentar