Ingat Aku?
Namaku Are. Singkat saja
panggil aku Are. Aku siswa tingkat akhir di salah satu sekolah negeri ternama
di kota tempat tinggalku. Lusa kemarin, aku sudah memutuskan untuk tidak
mengupload apapun di blog pribadiku karena aku ingin fokus dengan ujian akhir
semesterku.
Perlu kamu tahu, aku punya
sebuah kelompok belajar yang punya rutinitas berkumpul dimasa – masa tertentu. Sebut
saja seperti masa seperempat semester,setengah semester atau akhir semester.
Kami berlima. Aku, Rendi, Reihan, Bani dan Sella. Mereka adalah dua puluh lima persen
terbaik dikelasnya. Ya,bisa dibilang, anggota kelompok kami ini adalah orang –
orang yang namanya dikenal di bidang akademik.
Aku tidak akan menceritakan
lebih jauh bagaimana karakter mereka atau siklus hidup mereka. Karena, tujuanku
melanggar keputusanku kemarin lusa bukanlah untuk itu. Ada yang menarik. Kabar –
kabar simpang siur yang dibawa oleh angin sebagai teman turunnya hujan sore
ini. Kami melakukan pelanggaran. Itu yang angin katakan.
Jujur saja,aku tak tahu apakah
kabar itu dirujukan untuk kelompok kami atau hanya celetukan tidak bermoral
yang menuduh seseorang melakukan kecurangan.
Aku pikir, aku tidak perlu menceritakan lebih lanjut bagaimana sistem
dikelompok kami bekerja. Aku tahu kamu sudah punya hipotesis sendiri bukan?
Mari bicarakan ini. Sederhana saja.
Kita hanya butuh parameter yang jelas untuk mengatakan sesuatu atau menempatkan
sesuatu agar tepat. Kamu ingin aku
mengikuti parameter mu?
Baiklah. Mari kita berangkat
dari sini. Melihat buku catatan adalah kecurangan ketika ujian. Kami sepakati
itu. Kamu juga menjustifikasi bahwa itu dapat dilakukan di dua skenario
berbeda.sendiri dan berkelompok. Aku sebagai Are atau kamu sendiri bisa saja
melakukan itu, mengingat sistem yang dibuat oleh sekolah tidak seketat itu
bukan? Atau kelompok kami maupun sekelompok orang yang mengerjakan ujian ini di
satu atap yang sama juga bisa melakukan
itu. Sekarang, adilkah jika semesta hanya memberi label bahwa hanya beberapa
orang di satu atap yang mampu melakukan kecurangan? Aku sebagai Are, tidak sepakat dengan itu.
Lagi – lagi aku mengikuti
parameter mu tentang kejujuran. Aku sedikit rancu dengan hal ini. Maksudmu,
jujur karena memang tidak bisa menuntaskan kompetisi dasar? Atau jujur bahwa
sebagai murid pemuja nilai? Jika maksudmu jujur menurut poin pertama, bukahkan
tenaga pengajar kita lebih mengerti hal itu. Maksudku, sebagai Are yanghampir
11 tahun duduk di bangku sekolah, aku mengerti ada kompetisi dasar yang harus
tuntas sebagai syarat seorang murid naik kelas. Beberapa tenaga pengajar
maksudku, yang dianggap pelajarannya adalah pelajaran pembantu, hanya
menjadikan ujian sebagai formalitas. Tapi tahukah kamu? Ada beban moral
yang tidak bisa lepas untuk beberapa orang seperti aku. Bayangkan saja,
misalnya aku sebagai Are atau kamu sendiri mengerti bahwa gurumu tidak mungkin
memberikan nilai akhir yang buruk mengingat kamu adalah murid yang baik,
penurut dan rajin terlepas seberapa besar nilai ujianmu. Karena, esensi
pendidikan tidak sebatas itu. Baginya, nilai ujian hanyalah penyumbang
persentase yang tidak signifikan. Tapi bagaimana
dengan temanmu yang membuat dirimu adalah standar nilai mereka? Mereka akan
bahagia jika nilaimu dibawah meraka? Lalu
namamu ditempatkan dibawah. Bawah sekali sampai semua orang bisa menginjaknya. Lantas
apakah kita harus jujur saja? Bagimana cara mengatakannya? Jujur bahwa kita
tidak mungkin bisa menuntaskan semua kompetisi dasar karena banyak sekali
keterbatasan kah?
Lalu bagaimana jika jujur
bahwa sebagai murid, sepolos apapun ia, ia adalah pemuja nilai. Standarisasi yang
diciptakan oleh lembaga atau lingkungan sekitarnya yang menjadikan nilai adalah
satu – satunya parameter tingkat pemahaman dan kecerdasan. Bukan kah kita semua
mengerti, dengan segala keterbatasan, apa yang akan ia lakukan? Berat bukan menjadi
seorang ia? Bagiamana? Kamu merasa telah tidak jujur pada dirimu sendiri sampai
disini?
Sebagai Are, aku tidak menoler
bentuk kecurangan sebagaimanapun persentasenya. Tapi menurutku, bukahkah kurang
adil jika hanya buruk yang menjadi label bagi sekolompok orang?
Oh, ada poin terakhir yang
ingin kamu bahas lagi? Tentang kerjasama
yang memperjelas bentuk kecurangan. Kita sepakat bahwa kecurangan tidak bisa
ditolerir bukan? Lalu adilkah jika lagi – lagi label pelanggaran hanya
diberikan kepada bentuk kerjasama dengan media manusia?
Menurutmu,sebagai murid dan
aku sebagai Are, Sekelompok orang di satu atap bisa saja melakukan sistem kerjasama
yang kamu sebut itu. Tapi apakah satu orang tidak bisa melakukan itu?dengan kecanggihan teknologi
dan sistem yang tidak terlalu ketat? Sudah bertemu jawabannya? Apakah itu tidak
bisa disebut sebagai kerjasama juga?
Tidakkah kamu berpikir bahwa
orang – orang yang kamu curigai ternyata lebih membenci kecurangan, lebih jujur
dan menjauhi kerjasama ketika ujian dibanding dengan dirimu sendiri.
Kamu tidak perlu mengakui,
ingatlah aku, Are yang sore ini membantumu mengerti sebelum menggiring opini
publik bahwa dengan segala kecurigaan, hipotesismu akan benar.
0 komentar:
Posting Komentar