Senin, 07 Desember 2020

Ingat Aku?

 Ingat Aku?
 


Namaku Are. Singkat saja panggil aku Are. Aku siswa tingkat akhir di salah satu sekolah negeri ternama di kota tempat tinggalku. Lusa kemarin, aku sudah memutuskan untuk tidak mengupload apapun di blog pribadiku karena aku ingin fokus dengan ujian akhir semesterku.

Perlu kamu tahu, aku punya sebuah kelompok belajar yang punya rutinitas berkumpul dimasa – masa tertentu. Sebut saja seperti masa seperempat semester,setengah semester atau akhir semester. Kami berlima. Aku, Rendi, Reihan, Bani dan Sella. Mereka adalah dua puluh lima persen terbaik dikelasnya. Ya,bisa dibilang, anggota kelompok kami ini adalah orang – orang yang namanya dikenal di bidang akademik.

 

Aku tidak akan menceritakan lebih jauh bagaimana karakter mereka atau siklus hidup mereka. Karena, tujuanku melanggar keputusanku kemarin lusa bukanlah untuk itu. Ada yang menarik. Kabar – kabar simpang siur yang dibawa oleh angin sebagai teman turunnya hujan sore ini. Kami melakukan pelanggaran. Itu yang angin katakan.

 

Jujur saja,aku tak tahu apakah kabar itu dirujukan untuk kelompok kami atau hanya celetukan tidak bermoral yang menuduh seseorang melakukan kecurangan.  Aku pikir, aku tidak perlu menceritakan lebih lanjut bagaimana sistem dikelompok kami bekerja. Aku tahu kamu sudah punya hipotesis sendiri bukan?

 

Mari bicarakan ini. Sederhana saja. Kita hanya butuh parameter yang jelas untuk mengatakan sesuatu atau menempatkan sesuatu agar tepat.  Kamu ingin aku mengikuti parameter mu?

Baiklah. Mari kita berangkat dari sini. Melihat buku catatan adalah kecurangan ketika ujian. Kami sepakati itu. Kamu juga menjustifikasi bahwa itu dapat dilakukan di dua skenario berbeda.sendiri dan berkelompok. Aku sebagai Are atau kamu sendiri bisa saja melakukan itu, mengingat sistem yang dibuat oleh sekolah tidak seketat itu bukan? Atau kelompok kami maupun sekelompok orang yang mengerjakan ujian ini di satu atap  yang sama juga bisa melakukan itu. Sekarang, adilkah jika semesta hanya memberi label bahwa hanya beberapa orang di satu atap yang mampu melakukan kecurangan?  Aku sebagai Are, tidak sepakat dengan itu.

 

Lagi – lagi aku mengikuti parameter mu tentang kejujuran. Aku sedikit rancu dengan hal ini. Maksudmu, jujur karena memang tidak bisa menuntaskan kompetisi dasar? Atau jujur bahwa sebagai murid pemuja nilai? Jika maksudmu jujur menurut poin pertama, bukahkan tenaga pengajar kita lebih mengerti hal itu. Maksudku, sebagai Are yanghampir 11 tahun duduk di bangku sekolah, aku mengerti ada kompetisi dasar yang harus tuntas sebagai syarat seorang murid naik kelas. Beberapa tenaga pengajar maksudku, yang dianggap pelajarannya adalah pelajaran pembantu, hanya menjadikan ujian sebagai formalitas. Tapi tahukah kamu? Ada beban moral yang  tidak bisa lepas untuk  beberapa orang seperti aku. Bayangkan saja, misalnya aku sebagai Are atau kamu sendiri mengerti bahwa gurumu tidak mungkin memberikan nilai akhir yang buruk mengingat kamu adalah murid yang baik, penurut dan rajin terlepas seberapa besar nilai ujianmu. Karena, esensi pendidikan tidak sebatas itu. Baginya, nilai ujian hanyalah penyumbang persentase yang tidak signifikan.  Tapi bagaimana dengan temanmu yang membuat dirimu adalah standar nilai mereka? Mereka akan bahagia jika  nilaimu dibawah meraka? Lalu namamu ditempatkan dibawah. Bawah sekali sampai semua orang bisa menginjaknya. Lantas apakah kita harus jujur saja? Bagimana cara mengatakannya? Jujur bahwa kita tidak mungkin bisa menuntaskan semua kompetisi dasar karena banyak sekali keterbatasan kah?

 

Lalu bagaimana jika jujur bahwa sebagai murid, sepolos apapun ia, ia adalah pemuja nilai. Standarisasi yang diciptakan oleh lembaga atau lingkungan sekitarnya yang menjadikan nilai adalah satu – satunya parameter tingkat pemahaman dan kecerdasan. Bukan kah kita semua mengerti, dengan segala keterbatasan, apa yang akan ia lakukan? Berat bukan menjadi seorang ia? Bagiamana? Kamu merasa telah tidak jujur pada dirimu sendiri sampai disini?

 

Sebagai Are, aku tidak menoler bentuk kecurangan sebagaimanapun persentasenya. Tapi menurutku, bukahkah kurang adil jika hanya buruk yang menjadi label bagi sekolompok orang?

Oh, ada poin terakhir yang ingin kamu  bahas lagi? Tentang kerjasama yang memperjelas bentuk kecurangan. Kita sepakat bahwa kecurangan tidak bisa ditolerir bukan? Lalu adilkah jika lagi – lagi label pelanggaran hanya diberikan kepada bentuk kerjasama dengan media manusia?

Menurutmu,sebagai murid dan aku sebagai Are, Sekelompok orang di satu atap bisa saja melakukan sistem kerjasama yang kamu sebut itu. Tapi apakah satu orang tidak bisa  melakukan itu?dengan kecanggihan teknologi dan sistem yang tidak terlalu ketat? Sudah bertemu jawabannya? Apakah itu tidak bisa disebut sebagai kerjasama juga?

 

Tidakkah kamu berpikir bahwa orang – orang yang kamu curigai ternyata lebih membenci kecurangan, lebih jujur dan menjauhi kerjasama ketika ujian dibanding dengan dirimu sendiri. 

 

Kamu tidak perlu mengakui, ingatlah aku, Are yang sore ini membantumu mengerti sebelum menggiring opini publik bahwa dengan segala kecurigaan, hipotesismu akan benar.

 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar