Sabtu, 24 Februari 2018

Tulisan Pena Untuk Ayah

Ini kisahku. Catatan pena tentang dia. Laki – laki tangguh pertama yang dihadirkan Tuhan dalam skenario hidup ku. Ini adalah tulisan pena untuknya. Tentang sikapku padanya yang berakhir dengan penyesalan. Bukan penyesalan karena aku mengenalnya, melainkan penyesalanku karena tidak mau berendah hati menerima apa yang dia berikan. Dia adalah tokoh sempurna dalam cerita ku, sedangkan aku adalah deretan huruf yang pudar tanpa sempat ia baca.

Senja itu aku sendiri. Aku duduk melamun di sebuah kursi kayu. Tepat di hadapanku, sebuah meja kayu dengan ukiran khas Jepara terdiam manis dengan beberapa kertas yang berserakan di atasnya. Titik fokus lensaku kini terpaku pada sebuah halaman rumah yang tidak terlalu besar. Berharap sebuah mobil merah milik pahlawanku segera terparkir rapih di sana. Rintikan ribuan rinai yang turun bersamaan yang membuat aliran air sangat tipis di jendela. Secangkir teh hangat yang belum aku sentuh kini mulai mendingin mengikuti suhu ruangan tepat senja ini hadir.


Aku, Najwa Nabila. Seorang gadis kecil yang sedang menunggu kehadiran kedua pahlawanku. Saat ini, di sebuah ruangan bernuansa abu – abu. Remang – remang cahaya menyelinap masuk melalui bilik jendela. Mataku mulai terasa lelah. Percayalah, menunggu itu memang melelahkan. Aku mulai mengantuk. Ingin rasanya aku masuk ke kamar lalu berinteraksi dengan dunia imaginerku. Tetapi, bagaimana dengan kedua pahlawanku?

Aku memeluk tubuhku sendiri dalam dingin dan membiarkan kepalaku menyentuh meja. Perlahan, mata kopiku mulai menutup. Tepat ketika itu, telingaku menangkap pantulan bunyi yang terdengar seperti suara ketukan pintu. Mataku membulat sempurna lalu aku berdiri. Dengan cepat aku segera berlari menuju pintu kemudian membukanya. Dan setelah itu, retinaku menangkap sosok Ayah dan Ibu. Aku memeluk mereka berdua. Melepas rindu yang terus mengalir ketika aku tidak berada di samping mereka. Ibu mengulum senyumnya hingga matanya menyipit seperti bulan sabit dan ayah mengusap pucuk kepalaku dengan sangat lembut dan penuh kasing sayang. Aku menarik tangan mereka dengan kedua tangan kecilku sambil mengisyaratkan untuk segera masuk.

Saat ini, kami sedang berada di sebuah ruangan berukuran cukup kecil dengan sofa lembut dan perapian yang berada di sudut ruangan. Kami hanya menyeduh secangkir teh kemudian menghangatkan tubuh. Suasana itu dipenuhi oleh percakapan – percakapan sederhana yang mengarah pada pengalamanku ketika aku ditinggalkan Ayah dan Ibu. Di tengah – tengah percakapan itu, aku menanyakan pensil warna yang dijanjikan Ayah untuk ku. Ayah hanya tersenyum seolah berkata tak akan pernah ada yang Ayah lupakan untuk putri kesayangan Ayah kemudian tangannya terlihat menyelinap ke sebuah tas kerja lalu mengambil sebuah benda yang kita sebut pensil warna.

Ayah memberikan pensil warna itu kepada ku. Ketika aku menerimanya, bibir ku mengerucut tanda tidak suka. Sontak aku membanting pensil warna itu sampai tercecer di lantai. Ibu ku berdiri dari tempat duduknya. Siap mencubit ku atau melontarkan beberapa perkataan berupa kritikan pedas atas perbuatan ku tadi. Namun tangan kekar ayah menghalaunya. Ibu berusaha menurunkan kadar emosinya yang tadi terpancing beberapa menit lalu. Ayah bertanya kepada ku mengapa aku membanting pensil warna itu. Saat itu juga dengan polosnya aku menjawab bahwa pensil warna itu jelek. Karena seorang anak perempuan kecil seusia aku pasti berasumsi bahwa pensil warna yang bagus itu adalah pensil warna yang ada gambarnya bukan pensil warna yang polos.

Ayah menarik nafas ketika aku bertingkah merajuk kemudian mengambil jas hujannya lalu berjalan menuju bagasi untuk mengambil sepeda motor tuanya. Ibu bertanya mengapa tidak naik mobil saja saat hujan lebat seperti ini. Ayah hanya tersenyum sayu seolah senyumnya mencoba menyingkirkan rasa khawatir di rohani Ibu. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh dan menerobos ribuan rinai yang jatuh bersamaan.

Ada rasa bersalah ketika kembali menatap jendela. Saat itu hujan sangat lebat dengan gemuruhan petir di langit. Jika menghitung waktu, harusnya Ayahku sudai sampai dan berada di tengah – tengah kami. Telepon rumahku berbunyi. Ibu mengangkatnya dan raut wajahnya berubah 180 derajat. Aku yang merasa penasaran akan apa yang diucapkan seseorang diluar sana, berlari mendekati ibu. Satu rangkaian kata yang aku dengar dari pembicaraan itu adalah pernyataan bahwa ayahku kecelakaan dan masuk rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri.

Tepat ketika itu juga seluruh tubuhku melemas. Aku terdiam memeluk lututku di lantai. Menangis dalam diam dan penyesalan. Laki – laki pertamaku sedang berada dalam masa tersulitnya dan semua itu karena keegoisanku. Ibuku bersiap – siap menuju rumah sakit sedangkan aku masih menangis tak percaya. Ibu menarik tanganku dengan tangannya yang selalu berusaha tegar kemudian kami berangkat ke rumah sakit.

Sebuah raga terbujur kaku tak berdaya di atas sebuah kasur bernuansa putih. Ruangan ini dipenuhi oleh peralatan medis. Dia, pahlawanku yang pertama telah pulang. Itulah serangkaian kata yang aku dengar dari seorang laki - laki paruh baya yang aku panggil dokter. Sebuah kotak pensil warna yang aku inginkan masih dipeluk olehnya. Menurut saksi, pensil warna itu tak mau dilepas dari genggaman tangan Ayahku. Ibu memberikan kontak pensil warna itu kepada ku. Aku memeluknya sambil mengucapkan kata maaf. Masih dalam hembusan nafas yang tak percaya bahwa laki – laki pertama ku sudah pulang. Wajah sayunya, tangan yang dipenuhi goresan luka tak sengaja yang dibuat oleh takdir untuknya. Mulai detik ini aku harus menerima status baruku sebagai anak yatim.

Aku paham, peristiwa ini sudah di tuliskan Tuhan dalam catatan takdir ayahku. Tapi bisakah caranya bukan seperti ini? Dia laki – laki yang baik, pahlawan yang bertanggung jawab juga imam keluarga yang penuh dengan kasih sayang. Pantas kah aku merasa dia kurang sempurna? Hanya karena sebuah kotak pensil warna. Apa penyesalanku masih didengar Tuhan lalu ia mengembalikan Ayahku?

Untuk kalian yang telah membaca rangkaian paragraph yang aku ketik ini, jangan pernah membuat hati kedua pahlawan kalian terluka. Percayalan bahwa mereka itu istimewa. Apapun yang mereka berikan kepada mu, terimalah dengan sangat bahagia. Karena mungkin itu pemberian itu adalah hal terakhir yang mampu diberikan mereka untukmu. Tepat ketika hujan yang membawa pulang seseorang yang aku cintai. Laki – laki tangguh pertama, imam keluarga, pahlawan yang dihadirkan oleh Tuhan, juga tokoh sempurna dalam ribuan kata yang tercatat sebagai tulisan pena untuk ayah.


Share:

2 komentar:

  1. Ayah ku seorang pangeran tak berkuda, dan ibu ku adalah malaikat tanpa sayap ckckck.
    Maampir ke blog ane yah ka :)

    BalasHapus