Bagian Kedua
“ Jangan ragu,
aku tak sempat menuangkan racun ke coklat itu untuk membuatmu bicara."
Malam itu, udara dingin
menusuk – nusuk tulangku. Membuat mulutku sedikit menggigil. Sebenarnya aku
hanya tinggal di sebuah negara yang hanya memiliki dua musim. Harusnya udara
tak sedingin ini. Catat, ini kawasan tropis. Tak seharusnya ada satu hari yang
ditemani dengan semillir angin sedingin ini. Lagi pula tidak ada hujan yang
turun sejak tadi siang. Tak ada ribuan rinai yang turun bersama rindu untuk
menyapa tanah. Yang ada hanya sapaan angin malam yang menjelma menjadi tangan
salju. Satu yang aku pahami di malam itu. Iklim sudah masuk kategori buruk.
Aku merapatkan jaketku.
Tidak terlalu kuat untuk memberikan kehangatan di malam yang nyaris mmbuat
tubuhku membeku. Jangan salahkan siapapun atas kondisiku saat ini. Aku sendiri
yang memutuskan untuk pergi ke mini market depan kompleks malam ini. Pukul 8
malam dan usiaku masih 16 tahun. Disaat para remaja seperti aku lebih memilih
berdiam diri dibalik selimutnya dengan jemari mereka yang asyik menari diatas
gadget. Disaat para kepala keluarga mengumpulkan anggota keluarganya untuk berkumpul
dan melakukan pesta minum teh sederhana. Sedangkan aku? Lebih memilih keluar
rumah meninggalkan Ibuku yang sedang sibuk berkutat dengan bisnisnya.
Aku sendiri memang
sedikit menyesal. Membiarkan tangan salju ini menampar tubuhku yang hanya terbungkus
jaket tipis. Tapi siapa yang akan memilih bertahan ? tumbuh menjadi seorang
remaja seperti aku dengan lingkungan rumah yang tidak menyenangkan.
Aku membenarkan sepatu
kets ku. Mengikat talinya yang terlepas. Ya, itu pesanku. Jangan pernah
membiarkan tali sepatumu terlepas begitu saja. Atau pilihan terakhirnya,
membiarkan hatimu merutuki ulahmu dengan seenaknya. Aku berdiri, lanjut
berjalan karena sebentar lagi mini market itu semakin dekat dengan aku. Hanya
dalam hitungan menit, dibalik semilir angin mataku sudah dapat melihat reklame
bertuliskan nama mini market itu.
Aku masuk dengan
mendorong pintu. Suara lonceng kecil terdengar berdenting ketika tanganku
mendorong pintu kaca itu. Ya Tuhan, ini lebih dingin. Tubuhku lebih menggigil
Ketika berada di ruangan ini dibanding ketika aku menyusuri jalan. Aku berusaha
beradaptasi sebentar. Mungkin karyawan mini market ini sudah terbiasa dengan
alat pendingin ruangan yang dipasang di setiap sudut mini market. Bayangkan
saja, jika satu alat pendingin ini mendinginkan ruangan dua kali lipat
dibanding udara diluar sana, berarti kalian dapat membayangkan sendiri berapa
kali lipat dinginnya udara di ruangan ini. Aku berusaha menahan diriku.
menggigil dan menggertakan gigi disini hanya akan membuat aku menjadi pusat
perhatian. Aku berjalan ke sebuah rak bertuliskan biskuit. Aku mengambil 2 pack
biskuit kesukaan ku disana. Lalu aku berjalan ke rak – rak berikutnya.
Mengambil 6 kotak susu cair rasa coklat siap minum, 5 bungkus mie instan super
pedas dan sebuah memo baru sebagai pengganti memo kecilku si Rember.
Aku berjalan menuju
meja kasir. Hendak menukarkan barang – barang yang ku ambil tadi dengan uang.
Indra pencium ku dengan sukses mencium bau coklat panas. Pupil mataku melebar
ketika melihat seorang pegawai membuatkan satu cup coklat panas untuk pria di
sebelahku.
" kau mau nona?" pegawai itu
berucap dengan ramah.
Aku menggangguk. Berarti setuju.
" aku beli dua" pegawai itu
tersenyum lagi. Dengan cekataan ia membuatkan dua cup coklat panas untukku.
Setidaknya aku punya teman perjalan yang hangat.
Pegawai kasir itu mulai
menghitung belanjaanku lalu memasukkan barang – barang itu ke kantong plastik.
" tujuh puluh dua ribu lima
ratus." Pegawai Itu berucap ramah. Menyerahkan sekantong plastik berisi
belanjaanku itu.
Aku mengeluarkan uang
seratus ribu dari saku jaketku.
" ini kembalinya nyonya. Terima
kasih." Lagi – lagi pegawai itu tersenyum ramah. Aku hanya mengangguk
sedangkan pegawai kasir itu sudah melayani pembeli yang lain.
Aku mendorong pintu
itu. Lagi – lagi merapatkan jaketku karena udara ini semaikn dingin. Ah iya,
kenapa tadi aku tidak membawa motor saja? Lebih cepat dan lebih praktis.
Sepertinya rencana itu harus aku coba minggu depan.
Matakku menyipit. Udara
malam ini membuat indra penglihatanku sedikit terganggu. Dari jarak 5 meter,
aku melihat seorang remaja laki – laki sedang duduk di bangku halte. Tangannya memeluk
tubuhnya. Sepertinya dia kedinginan. Keinginanku saat itu hanya berjalan
melewatinya. Tapi aku ingat pesan ibuku di rumah. ' hormat kepada siapapun dan
ramah kepada siapapun'.
" Boleh aku ikut duduk disini?"
aku bertanya dengan intonasi pelan ke remaja laki – laki itu. Ia hanya melirik
ke arahku sekilas. Diam, tidak menjawab.
Aku duduk di bangku
halte disebelahnya. Diam berarti iya bukan?
" Kamu suka coklat panas?' aku
mencoba bertanya. Membuka pembicaraan dengan seseorang yang tadi diam membisu.
Mulutnya seolah – olah terkunci dan tak mau berbicara.
Lagi – lagi dia
melirikku. Mendengus pelan. Aku beranjak berdiri. Berdiri di depannya yang
terus saja dari tadi diam.
" Baiklah, aku pikir kamu
suka" aku menarik tangannya secara paksa. Menaruh coklat panas di
tangannya yang dingin. Mungkin udara ini sudah mendinginkan mulutnya juga, dan
dia hanya menatapku heran.
" Jangan terlalu lama berada di
luar malam ini. Udaranya sangat dingin. Tangan salju itu tak akan melihat orang
dari segi manapun. Ia akan dengan senang hati memeluk tubuhmu yang hangat dan
mengubahnya menjadi dingin. Aku pergi dulu, nikmati coklat panas itu. Jangan
ragu, aku tak sempat menuangkan racun ke coklat itu untuk membuatmu
bicara." Aku terkekeh kecil. Tersenyum lebar lalu berjalan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar