Jumat, 29 Maret 2019

Delusive " Bagian kedua"


Bagian Kedua


“ Jangan ragu, aku tak sempat menuangkan racun ke coklat itu untuk membuatmu bicara."

Malam itu, udara dingin menusuk – nusuk tulangku. Membuat mulutku sedikit menggigil. Sebenarnya aku hanya tinggal di sebuah negara yang hanya memiliki dua musim. Harusnya udara tak sedingin ini. Catat, ini kawasan tropis. Tak seharusnya ada satu hari yang ditemani dengan semillir angin sedingin ini. Lagi pula tidak ada hujan yang turun sejak tadi siang. Tak ada ribuan rinai yang turun bersama rindu untuk menyapa tanah. Yang ada hanya sapaan angin malam yang menjelma menjadi tangan salju. Satu yang aku pahami di malam itu. Iklim sudah masuk kategori buruk.

Aku merapatkan jaketku. Tidak terlalu kuat untuk memberikan kehangatan di malam yang nyaris mmbuat tubuhku membeku. Jangan salahkan siapapun atas kondisiku saat ini. Aku sendiri yang memutuskan untuk pergi ke mini market depan kompleks malam ini. Pukul 8 malam dan usiaku masih 16 tahun. Disaat para remaja seperti aku lebih memilih berdiam diri dibalik selimutnya dengan jemari mereka yang asyik menari diatas gadget. Disaat para kepala keluarga mengumpulkan anggota keluarganya untuk berkumpul dan melakukan pesta minum teh sederhana. Sedangkan aku? Lebih memilih keluar rumah meninggalkan Ibuku yang sedang sibuk berkutat dengan bisnisnya.

Aku sendiri memang sedikit menyesal. Membiarkan tangan salju ini menampar tubuhku yang hanya terbungkus jaket tipis. Tapi siapa yang akan memilih bertahan ? tumbuh menjadi seorang remaja seperti aku dengan lingkungan rumah yang tidak menyenangkan.

Aku membenarkan sepatu kets ku. Mengikat talinya yang terlepas. Ya, itu pesanku. Jangan pernah membiarkan tali sepatumu terlepas begitu saja. Atau pilihan terakhirnya, membiarkan hatimu merutuki ulahmu dengan seenaknya. Aku berdiri, lanjut berjalan karena sebentar lagi mini market itu semakin dekat dengan aku. Hanya dalam hitungan menit, dibalik semilir angin mataku sudah dapat melihat reklame bertuliskan nama mini market itu.

Aku masuk dengan mendorong pintu. Suara lonceng kecil terdengar berdenting ketika tanganku mendorong pintu kaca itu. Ya Tuhan, ini lebih dingin. Tubuhku lebih menggigil Ketika berada di ruangan ini dibanding ketika aku menyusuri jalan. Aku berusaha beradaptasi sebentar. Mungkin karyawan mini market ini sudah terbiasa dengan alat pendingin ruangan yang dipasang di setiap sudut mini market. Bayangkan saja, jika satu alat pendingin ini mendinginkan ruangan dua kali lipat dibanding udara diluar sana, berarti kalian dapat membayangkan sendiri berapa kali lipat dinginnya udara di ruangan ini. Aku berusaha menahan diriku. menggigil dan menggertakan gigi disini hanya akan membuat aku menjadi pusat perhatian. Aku berjalan ke sebuah rak bertuliskan biskuit. Aku mengambil 2 pack biskuit kesukaan ku disana. Lalu aku berjalan ke rak – rak berikutnya. Mengambil 6 kotak susu cair rasa coklat siap minum, 5 bungkus mie instan super pedas dan sebuah memo baru sebagai pengganti memo kecilku si Rember.

Aku berjalan menuju meja kasir. Hendak menukarkan barang – barang yang ku ambil tadi dengan uang. Indra pencium ku dengan sukses mencium bau coklat panas. Pupil mataku melebar ketika melihat seorang pegawai membuatkan satu cup coklat panas untuk pria di sebelahku.

" kau mau nona?" pegawai itu berucap dengan ramah.

Aku menggangguk. Berarti setuju.

" aku beli dua" pegawai itu tersenyum lagi. Dengan cekataan ia membuatkan dua cup coklat panas untukku. Setidaknya aku punya teman perjalan yang hangat.

Pegawai kasir itu mulai menghitung belanjaanku lalu memasukkan barang – barang itu ke kantong plastik.

" tujuh puluh dua ribu lima ratus." Pegawai Itu berucap ramah. Menyerahkan sekantong plastik berisi belanjaanku itu.
Aku mengeluarkan uang seratus ribu dari saku jaketku.

" ini kembalinya nyonya. Terima kasih." Lagi – lagi pegawai itu tersenyum ramah. Aku hanya mengangguk sedangkan pegawai kasir itu sudah melayani pembeli yang lain.

Aku mendorong pintu itu. Lagi – lagi merapatkan jaketku karena udara ini semaikn dingin. Ah iya, kenapa tadi aku tidak membawa motor saja? Lebih cepat dan lebih praktis. Sepertinya rencana itu harus aku coba minggu depan.

Matakku menyipit. Udara malam ini membuat indra penglihatanku sedikit terganggu. Dari jarak 5 meter, aku melihat seorang remaja laki – laki sedang duduk di bangku halte. Tangannya memeluk tubuhnya. Sepertinya dia kedinginan. Keinginanku saat itu hanya berjalan melewatinya. Tapi aku ingat pesan ibuku di rumah. ' hormat kepada siapapun dan ramah kepada siapapun'.

" Boleh aku ikut duduk disini?" aku bertanya dengan intonasi pelan ke remaja laki – laki itu. Ia hanya melirik ke arahku sekilas. Diam, tidak menjawab.

Aku duduk di bangku halte disebelahnya. Diam berarti iya bukan?

" Kamu suka coklat panas?' aku mencoba bertanya. Membuka pembicaraan dengan seseorang yang tadi diam membisu. Mulutnya seolah – olah terkunci dan tak mau berbicara.

Lagi – lagi dia melirikku. Mendengus pelan. Aku beranjak berdiri. Berdiri di depannya yang terus saja dari tadi diam.

" Baiklah, aku pikir kamu suka" aku menarik tangannya secara paksa. Menaruh coklat panas di tangannya yang dingin. Mungkin udara ini sudah mendinginkan mulutnya juga, dan dia hanya menatapku heran.

" Jangan terlalu lama berada di luar malam ini. Udaranya sangat dingin. Tangan salju itu tak akan melihat orang dari segi manapun. Ia akan dengan senang hati memeluk tubuhmu yang hangat dan mengubahnya menjadi dingin. Aku pergi dulu, nikmati coklat panas itu. Jangan ragu, aku tak sempat menuangkan racun ke coklat itu untuk membuatmu bicara." Aku terkekeh kecil. Tersenyum lebar lalu berjalan lagi.








Share:

0 komentar:

Posting Komentar